Senin, 23 Juli 2012

Naskah Drama Karya Parlindungan


Negeri Lancang Merdeka

Naskah Drama 3 Babak
Karya : Parlindungan
Karya ini menjadi Juara Ketiga Laman Cipta Sastra DKR 2008 Tingkat Nasional


PARA PEMAIN :
1. TAB (Laki-laki 45 tahun)
2. LONG (Laki-laki 45 tahun)
3. PIETER (Laki-laki 45 tahun)
4. PAIJAN (Laki-laki 45 tahun)
5. PRESIDEN MERDIAM (Laki-laki 55 tahun)
6. ADANG (Laki-laki 45 tahun)
7. AZLAINI (Perempuan 45 tahun)
8. ANAK KECIL (10 tahun)
9. PAMONG 1
10. PAMONG 2
11. PAMONG 3

SINOPSIS :
Siapa yang mengira, kalau sebuah peradaban bangsa hanya dihargai tetek-bengek janji. Dan siapa mengira, kalau negeri tidak lagi menjadi tumpuan mata yang tengah redup dari teriknya matahari.

Cerita yang diangkat dari sebuah kisah mimpi – di sebuah peradaban yang tertindas, mencoba mengenang tangisan sang ibu – yang susah untuk membeli setekong beras, fakir miskin yang susah menguburkan mayat sanak keluarganya – karena tidak memiliki uang untuk membayar ongkos pemakaman. Lalu, meneroka lebih dekat tertindasnya cita-cita dan harapan anak bangsa – untuk hidup yang lebih layak, dan juga mengisahkan banyak penderitaan lain – karena Negeri Lancang yang enggan berlayar malam – akibat berbahaya atas ombak yang tinggi.

Negeri Lancang ingin memerdekakan Negerinya. Karena alasan di atas, merupakan alasan yang tepat untuk memisahkan dari bangsa yang terpuruk. Aksi separatisme adalah jalan satu-satunya, agar keinginan untuk merdeka bisa tercapai. Bendera Negeri Lancang adalah simbol kemerdekaan Negeri ini.

Mampukah Negeri Lancang mengibarkan bendera di tengah padang gersang nan luas? Mampukah Negeri Lancang memancangkan tekad untuk memproklamasikan kemerdekaan? Dalam imajinasinya mereka mampu, karena ada sejarah dan jati diri yang hilang di telan genggaman kekuasaan.

Kisah ini kisah nyata di Negeri Lancang Kuning, Riau, yang diabstrakkan.
BABAK I

Pemain :
1. LONG
2. TAB
3. PAIJAN
4. AZLAINI
5. ADANG
6. PIETER

Property/setting :
1. BENDERA-BENDERA BESERTA TIANG KAYU BENDERA
2. 2 BUAH KURSI KAYU
3. 1 BUAH MEJA KAYU
4. RADIO
5. KLIPINGAN KORAN-KORAN

Lokasi : RUANGAN KEDIAMAN TAB

Di sebuah ruang tengah tanpa ada banyak property interior rumah. Hanya terdapat banyak bendera-bendera – sebagai lambang keinginan merdeka di Negeri itu. Selain itu, ada dua buah kursi dan satu buah meja. Lalu klipingan-klipingan koran yang tertempel di dinding-dinding ruangan itu juga menghiasi ruangan. Terlihat, Tab melamun duduk di lantai ruangan. Tab menatap tajam bendera yang ada di genggaman kedua tangannya. Suara berita radio ikut menghiasi suasana pada saat itu. Long, sahabatnya menghampiri Tab.

1. LONG :
Tab! Sudahlah! Jangan lagi kau tatap lama-lama bendera itu. Dia tidak akan mampu mengubah nasib kita, mengubah nasib Negeri ini, Tab! Memang kita semua memiliki masa lalu yang suram. Kita memang memiliki sejarah yang dalam untuk dihilangkan dari catatan-catatan sejarah, agar anak-anak kita tidak lagi mampu menghapal nama-nama tokoh yang telah berhasil mengukir bangsa ini menjadi sebuah senyuman yang abadi. Tab! Tab! Kau dengar ucapanku..?

2. TAB :
(Sambil menatap tajam bendera yang dipegangnya sedari tadi) Aku dengar ucapanmu, Long. Ya..., aku simak penjelasanmu. Cuma aku hanya meratapi! Mau dibawa ke mana sejarah ini! Mau dibawa ke mana anak-anak kita? Kekayaan kita? Marwah kita? Dan peradaban kita yang telah hilang puluhan tahun lalu.

3. LONG :
Paling-paling aku hanya bisa menjawab kata-kata lamaku. Tidak lain aku hanya bisa berucap, kalau kekhawatiranmu sudah ada yang mengurusnya. Bahkan, sudah ada yang menjamin kalau anak-anak kita, orang-orang miskin, dan bahkan manusia yang terlantar akan mati pun ada yang merawatnya, Tab!

4. TAB :
Merawatnya katamu, Long? Apa kau tidak bisa melihat dengan matamu yang tidak terkena katarak itu, dengan kenyataannya di Negeri Lancang ini! Untuk kau ketahui, tadi pagi saja aku sudah ditodong oleh anak yang berusia lima tahun, dia meminta belas kasihan, agar dia diberikan sarapan. “Dia sangat lapar,” katanya. “Dia tidak sekolah,” katanya. “Dia tidak punya rumah lagi, karena telah dibakar Pamong dua minggu lalu karena rumahnya dianggap sebagai gubuk liar”. Dan yang sangat menyedihkan.., bapak ibunya telah mati dimakan cacing-cacing tanah bulan lalu. Antan patah, lesung pun hilang. (1) Itukah yang kau katakan ada yang menjamin? Omong kosong! Omong kosong, Long!

5. LONG :
Makanya aku katakan padamu, Tab. Itu masa lalu yang tidak akan pernah akan ada ujungnya. Itu persoalan manusia yang sulit kita tebak mana mata pisau yang tajam, untuk mengiris-iris menjadi rata pada sebuah keinginan dan cita-cita Negeri ini, Tab.

6. TAB :
Cita-cita itu sudah menjadi debu, dan debu itu pun sudah hinggap entah di mana dia. Di daunkah? Di jalan-jalan trotoarkah? Di ban mobil? Atau.., di kening mereka masing-masing yang telah lupa asal hidup mereka. Ya.., Angus tiada berapi, karam tiada berair. (2)

7. LONG :
Tab..!
8. TAB :
(Memotong pembicaraan) Sudahlah! Jangan lagi kau cerca aku dengan gaya bahasa bangsamu itu. Aku sudah muak. Negeri Lancang ini sudah rindu dengan mata air, yang dahulunya sudah penat dengan air mata yang terus menetes deras bersamaan dengan beriaknya ombak laut yang kedalamannya sa.. ngat dalam. Sanga..t dalam!

9. LONG :
Aku menantangmu, Tab! Apakah dengan kau menatap tiap hari bendera-bendera itu, harapan Negerimu ini bisa membuat kau tertawa terbahak-bahak bersama yang menderita di Negeri Lancang ini?

10. TAB :
Aku menjamin bisa. Dengan syarat, kau juga ikut meratapi bendera ini hingga kau sadar, kalau bendera ini sudah puluhan tahun tersimpan di dalam peti mati yang bapakku buat dulu, sebelum dia mengakhiri hayatnya, yang pada saat itu mati ditembak senapan oleh Pamong. Pamong itu mengatakan, “Bapakku penjajah, bapakku separatisme, bapakku pengkhianat, dan bapakku anjing dan musuh bangsa”. Tapi, sebahagian orang-orang bilang, “Bapakku Sang Malaikat yang membunyikan sang-sakakala, sebagai awal merubah kehidupan yang abadi”. Tapi..., itu dulu. Diakan sudah mati. Cuma aku punya tanggungjawab atas warisan bapakku. Apakah akan kubiarkan saja bendera-bendera ini disimpan di peti mati, yang peti matinya saja sudah lapuk digerogoti rayap.
(Tab menoleh cepat ke arah Long)
Hey, Long! Perhatikan aku. Ini penting!

11. LONG :
(Seakan-akan mengacuhkan pembicaraan. Dengan nada yang menyindir) Penting hanya bagimu, tapi.., tidak bagi bangsa ini. Negeri Lancang ini sudah lama diam dengan pendiriannya, jadi kau tak perlu usiklah!

12. TAB :
Biarkan saja. Aku akan mengusiknya kembali. Aku akan memporak-porandakan keranda-keranda kematian Negeri Lancang ini, supaya mereka sadar, kalau bapakku yang telah mati dahulu, masih hidup rohnya di masa kini!

(Tiba-tiba disela percakapan itu, Pieter datang dengan logatnya yang khas sebagai orang Batak, terburu-buru dan panik menjumpai Tab sambil membawa tumpukan bendera-bendera)

13. PIETER :
Tab..! Tab..!

(Tab dan Long terkejut melihat kedatangan Pieter yang panik seperti dikejar-kejar setan)

14. TAB :
Ada apa?

15. PIETER :
Hancur, Tab! Hancur sudah!

16. TAB :
Ia kenapa? Ada apa, Pieter?

17. PIETER :
Paijan mati ditembak Pamong, dan Azlaini beserta Adang tertangkap, Tab!

18. TAB :
Biadab! (Diam terpaku. Geram. Dan memeras gemetar bedera di tangannya)


LAMPU PADAM


Cerita kilas balik beberapa jam sebelum Paijan mati, dan Ijang beserta Adang tertangkap. Masih di tempat dan property yang sama.

(Sambil memasang ikatan tali bendera ke kayu-kayu yang telah disediakan, Paijan, Azlaini, Adang, dan Pieter, terburu-buru memasang bendera)

19. PAIJAN :
Sudah saatnya ada perubahan pada Negeri ini! Kita jangan hanya bisa menjadi orang-orang tertindas pada masanya!

20. ADANG :
Benar! Siapa lagi kalau bukan kita.

21. PAIJAN :
Kita harus cari moment yang pas, agar bendera-bendera ini bisa gagah berdiri di Negeri Lancang yang kita duduki ini. Darah taruhannya, Dang. Aku siap mati! Agar bendera ini bisa terpancang di pelupuk mata Presiden Merdiam Bangsat itu!

22. AZLAINI:
Merdiam itu tidak tidak punya mata. Jangankan mata, hati pun dia tidak punya. Dia bagai udang, yang seharusnya pada kepalanya terletak otak untuk berpikir, toh malah taik yang ada di pori-pori kepalanya.

23. PAIJAN :
Azlaini.., tapi udangkan enak, apalagi kalau dia digulai. Ha..haa..!

24. ADANG :
Sudah! Kita tidak punya waktu banyak untuk berbicara yang tak berguna.
Kita pasang bendera-bendera ini sebelum waktu Shubuh tiba.
Azlaini, kau pasang bendera-bendera yang telah kau ikat ke sejumlah titik jalan yang kerap dilewati Sang Presiden Merdiam. Aku, Paijan, dan Pieter memasang bendera ini di depan Istana Negara dan ke sejumlah kantor identitas bangsa. Jangan lupa, kita sudah harus sampai ke ruangan ini sebelum adzan Shubuh. Ayo, kita berangkat!

(Akhirnya, atas instruksi itu mereka semua pergi meninggalkan ruangan. Mereka bergegas menancapkan bendera-bendera yang telah disiapkan)

LAMPU PADAM

Kembali ke cerita awal antara Tab, Long, dan Pieter.
(Tab tetap memeras gemetar bendera yang ada di tangannya pada posisi awal ia berdiri. Tatapannya tajam ke depan. Geram pada ekspresinya. Dan, Pieter hanya bisa merundukkan kepalanya. Lalu, Long senyum sinis ke arah Tab. Tiba-tiba suara berita radio memberitakan, kalau beberapa saat lalu ada berita duka. Si pembaca berita menginformasikan, “Kalau pada lewat tengah malam itu telah terjadi bentrok antara Pamong dan sejumlah separatis Negeri Lancang Merdeka. Dari insiden tersebut, satu orang di antaranya tewas ditembak Pamong, dan dua orang lainnya ditangkap Pamong”. Dan dari informasi itu, “Pamong tengah memburu otak separatisme Negeri Lancang Merdeka, yang mereka sebut-sebut adalah Tab”. Dengan geram, Tab mematikan radio yang mereka dengar)

25. LONG :
Ha...ha...! Bagai angan-angan mengikat tubuhnya sendiri.(3) Tadi sudah saya katakan kepada kau, Tab, “Kalau kau tak usah payah-payah memperjuangkan aksi separatismu”. Kau akan mati nantinya seperti sahabatmu. Dan klipingan koran yang kau terus menempelnya di dinding ruangan ini, nantinya akan besedih ketika kau telah mati. Kalau aku boleh mengatakan, kau juga bagai angan lalu, tapi paham bertumbuk.(4)
(Long menatap ke arah klipingan koran-koran di dinding)
Ya..! Koran ini memuat, “Kalau Aceh telah merdeka”. Memang Aceh sudah merdeka, tapi tumpah darahnya hingga saat ini tidak pernah kunjung selesai. Dan koran ini juga pernah memuat, “Kalau Papua juga ingin merdeka”, tapi, nyatanya hanya isapan jempol belaka.(5) Dan, apakah Negeri Lancang ini juga akan merdeka? Nyawa taruhannya, dan Negeri ini juga tidak akan merdeka-deka, Tab! Aku lebih memilih jalan pintas untuk mengamankan aku dan keluargaku dari kejaran Pamong Pemerintah Pusat. Lebih baik aku tidak bekerja keras membantumu untuk memerdekakan Negeri Lancang ini, daripada aku dianggap sebagai pengacau negara.

26. TAB :
(Tab mendekati Long dan meremas kerah baju Long
sambil menatap tajam matanya)
Kau memang tidak dianggap pengacau oleh Pemerintah Pusat! Tapi kau adalah Biadab bagi Negeri Lancang ini! Kau tidak memahami atas perjuangan ini, Long. Perjuangan ini juga bahagian untuk menghidupi istrimu yang saat ini bekerja sebagai pembantu di rumah orang Cina yang ada di depan rumahmu. Dan perjuangan ini pula, untuk membantu anakmu yang saat ini sedang kekurangan gizi karena tidak pernah diberi susu bergizi. Kau encamkan itu, Long!
(Tab melepaskan remasan tangannya di kerah baju Long perlahan-lahan)
Paijan.., Azlaini.., dan kau Adang.., kalaulah kalian berada di sini saat ini, pastilah kalian tidak memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di depan Istana Negara itu, melainkan memancang di mulut kau, Long Biadab!

27. LONG :
Seandainya Pamong-pamong negara tahu tempat markas kau saat ini, dia akan mengepungmu. Dan, setiap Pamong menyediakan ratusan peluruh senjata laras panjang untuk menembuskan pelurunya ke kepalamu, dadamu, jantungmu, hatimu, dan tepat ke arah otakmu yang bermimpi ingin merdeka itu!

28. TAB :
(Tab semakin geram, dan menjerit sejadi-jadinya)
Se..taaa..nn!! Biadab kau, Long!!
(Tab mengambil kursi kayu yang ada di ruangan itu, dan melempar ke arah Long yang bertepatan pada saat itu lari keluar ruangan. Tab terus menjerit histeris. Geram. Panik, dan akhirnya bertekuk lutut)

LAMPU PADAM

BABAK II

Pemain :
1. AZLAINI
2. ADANG
3. PRESIDEN MERDIAM
4. PAMONG 1
5. PAMONG 2
6. PAMONG 3
7. PAIJAN

Property/setting :
1. BENDERA NEGERI LANCANG MERDEKA
2. JERUJI / RUANG PENJARA
3. 1 BUAH MEJA KAYU
4. 1 BUAH KURSI KAYU
5. ROKOK
6. TALI
7. KAIN PENUTUP MATA
8. SEJUMLAH SENJATA LARAS PANJANG

Lokasi : RUANG TAHANAN/PENJARA NEGARA

(Di ruang tahanan Negara, Presiden Merdiam yang didampingi sejumlah Pamong, mengintograsi Azlaini dan Adang yang sedang meringkuk di jeruji besi Negara)

29. PRESIDEN MERDIAM :
(Sambil merokok dan beberapa kali menghembuskan asap yang telah dihisap dari rokoknya. Bergaya sangat angkuh dan arogan)
Sedari dahulu, saya mengatasnamakan Presiden Negara ini, sudah mengingatkan supaya kalian jangan menjadi separatis. Separatisme adalah musuh utama bagi negara ini. Itu pengkhianat namanya. Dan kalian tahu, kalau pengkhianat harus dihukum mati. Kalaulah ada hukuman yang lebih kejam dari itu, maka saya akan memberlakukannya itu pada kalian, si pengacau, si perusak persatuan, dan si jalang bagi Bangsa ini! Kalian tahu bukan, orang-orang yang pernah berupaya untuk menjadi pengacau, sudah dipancung dahulu lehernya, sehingga kepala dan badannya terpisah jauh! Janganlah kalian berangan menjadi pahlawan di siang bolong. Tak ada gunanya. Toh, bangsa ini tetap tidak menghargai perjuangan kalian! Apakah dengan undang-undang yang aku sampaikan ini, tidak membuat kalian mengubah niat untuk tetap menjadi separatis?

30. AZLAINI :
Wahai, Presiden Merdiam! Anak panah yang sudah terlepas dari busurnya, dia tidak akan dapat dikembalikan lagi.(6) Makanya kami tidak akan mengubah keinginan kami menjadi pahlawan bagi Negeri Lancang kami. Kami ingin merdeka...! Kami ingin perubahan..! Kami ingin bangsa kami menjadi Negeri yang beradab.., bukan biadab!

31. PRESIDEN MERDIAM :
(Mondar-mandir di hadapan Azlaini dan Adang sambil tetap merokok.
Panik dan geram)
Aku sudah menebak tentang apa yang kau sampaikan dalam peribahasa itu. Tapi, kalian tidak pernah menyadari, dari peribahasa itu memang benar adanya, kalau anak panah akan terlepas dari busurnya, tapi dia mengejar sasarannya, ya.., tepat mengenai jantung kalian. Dan kalian akan mati bersama busur-busur yang bermata tajam itu. Aku tawar sekali lagi dengan sepuluh jariku, untuk kalian menjadi manusia-manusia biasa saja, tidak separatis, tidak pengacau, dan tidak memuakkan bagi Bangsa ini!

32. ADANG :
Tidak!! Biarlah kami menjadi diri kami sendiri. Mau sebagai separatis, pengacau, dan bahkan memuakkan sekalipun, kami tetap ingin merdeka. Kami tidak akan gentar dengan tawaran-tawaran menyesatkan itu. Apa yang digaduhkan, pengayuh sama di tangan, perahu sama di air.(7)

33. PRESIDEN MERDIAM :
Sangat menarik sekali. Cocok menjadi pahlawan. Tapi.., pahlawan bagi orang-orang pencuri, orang bodoh, dan orang-orang yang tidak mengerti akan keadaan.
34. AZLAINI :
Kami ingin merdeka..!!

35. ADANG :
Kami ingin sejahtera!!

36. AZLAINI :
Kami ingin kepuasan..!!

37. ADANG :
Kami ingin beradab!!

38. AZLAINI :
Kami ingin dipandang..!!

39. ADANG :
Kami tidak mau dijajah!!

40. AZLAINI :
Kami tidak mau dibodoh-bodohi..!!

41. ADANG & AZLAINI :
Negeri Lancang kami ingin merdeka..!!

42. PRESIDEN MERDIAM :
(Marah) Diam!! Muak! Muak! Muak aku mendengarnya!! Kalian sudah lancang. Kalian harus sadar, kalau kalian saat ini berhadapan dengan Presiden. Dan kalian harus juga sadar, kalau kalian saat ini di dalam jeruji besi, dan menunggu mati. Tampaknya saya akan membuat kalian sadar pada hari ini!

(Presiden Merdiam menepuk dua kali telapak tangannya. Dan tak lama setelah itu, datang dua orang Pamong yang menyeret Paijan yang sudah menjadi mayat. Paijan kondisinya sangat mengenaskan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah – akibat tembakan senjata api Pamong – pada saat Paijan dan kedua rekannya memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di sejumlah titik strategis. Mayat Paijan dibawa ke hadapan kedua rekannya – Azlaini dan Adang)

43. PRESIDEN MERDIAM :
Kalian lihat. Tatap dengan seksama mayat sahabat karib kalian ini. Inilah jadinya bagi orang-orang yang memiliki cita-cita separatis. Ini adalah baru sebahagian sikap dan kebijakan arif pemerintah. Sebenarnya kalian memiliki peluang untuk tidak menjadi orang yang menyusul arwah sahabat kalian ini di alam baka. Makanya saya yang mengatasnamakan Presiden akan memaafkan kalian, apabila kalian mau berjanji secara tertulis akan menjadi warga Negara yang baik yang tidak separatis. Bagaimana?

44. ADANG :
Biadab!! Tak punya hati nurani. Biar kami mati, asal perjuangan kami ingin merdeka bisa dihargai oleh Bangsa terpuruk ini! Mayat itu tidak mati, tapi rohnya tetap saja membawa bendera Negeri Lancang Merdeka yang akan menancapkan ke seluruh penjuru Negeri ini! (histeris)

45. PRESIDEN MERDIAM :
Pamong! Keluarkan pengkhianat ini!

(Dua orang Pamong yang bergerak dari posisinya melaksanakan perintah Presiden Merdiam. Pamong yang satu membuka jeruji yang tergembok, dan yang satunya lagi membawa keluar Adang dengan kasar. Jeruji ditutup kembali. Lalu, Adang diperintahkan Presiden Merdiam untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Di atas meja itu kepala Adang ditekan paksa oleh Presiden Merdiam karena marah – tidak terima atas ungkapanya yang dinilai terlalu lantang)

46. PRESIDEN MERDIAM :
Kalau saja Negeri Lancang kalian merdeka, dan sepertiganya saja warganya seperti kalian, tentunya parah kondisi Negeri kalian!

47. ADANG :
(Dengan posisi kepalanya tertekan tangan Presiden Merdiam di atas meja) Dan Negeri kami akan bertambah parah kalau dipimpin oleh presiden yang biadab tak beradab, yang sikapnya selalu kasar dan rakus!

48. AZLAINI :
Hei! Biadab lepaskan dia! Lepaskan! Kurang ajar! (menjerit)

(Presiden Merdiam melepaskan tekanan tangannya di tengkuk Adang secara perlahan-lahan – dan menatap ke arah Azlaini yang masih dalam jeruji besi. Lalu, melangkah ke arah Azlaini)

49. PRESIDEN MERDIAM :
Apa yang kau katakan? Coba kau ulangi sekali lagi?! Ayo katakan! Katakan!! (Menjambak rambut Azlaini)

50. AZLAINI :
Kau Biadab!! Cueh! (Meludahi wajah Presiden Merdiam)

(Lalu Presiden Merdiam mengambil senjata Pamong yang ada di sampingnya. Dan menembak Azlaini di dalam jeruji besi itu. “Dor! Dor! Dor!” Tiga peluru menembus tubuh Azlaini. Dan Azlaini jatuh seketika. Mati)

51. PRESIDEN MERDIAM :
Ada sirih, hendak makan sepah pula! (8) Inilah akibat orang yang melawan Presiden. Mati di tangan Presiden sendiri. Hmm..Hmm..! (Tertawa kecil)

(Adang marah dan bangkit dari posisinya. Namun tertahan oleh dua orang Pamong yang berada di samping Adang)

52. ADANG :
Patutlah kami ingin merdeka. Dan, patut pula kami tidak menyetujui atas kepemimpinan Hitler semacam kau!! Seenaknya saja merenggut nyawa manusia dengan gampang. Kau Presiden, takkan mampu mengganti nyawa dan perjuangan kami. (Bergerak-gerak berusaha untuk lepas dari sekapan Pamong)

53. PRESIDEN MERDIAM :
Ternyata kau tak terenyuh juga melihat kondisi kedua sahabat karib kau yang malang nasibnya. Saya mengatasnamakan Pemerintah Negara ini, hanya meminta supaya hentikan separatisme di Negara ini. Tidak ada yang lain selain hentikan separatis! Hentikan separatis!

54. ADANG :
Tidak ada yang separatis di Negara ini. Kami hanya ingin memerdekakan Negeri kami. Kami hanya ingin lebih beradab dan dipandang oleh Bangsa ini. Nyawaku taruhannya untuk tetap merdeka.

55. PRESIDEN MERDIAM :
Hei! Kau sadar tidak, kalau kau saat ini hanya dua meter dari aku yang membawa senjata ini. Tidak sampai sedetik, bisa tercabut nyawamu. Dan yang aku bawa ini juga bisa menyetarakan kau dengan kedua sahabatmu yang sudah mendahuluimu ke neraka.

56. ADANG :
Kau Presiden yang tak adil yang harus ke neraka jahanam. Bukan kami yang ingin bercita-cita ini! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Biadab!

57. PRESIDEN MERDIAM :
Ternyata kalian sama saja sifatnya. Keras kepala dan bedebah! (Menyeramkan wajahnya persis di depan muka Adang)

58. ADANG :
Tembak saja aku, Presiden! Tembak saja! Biar kau puas!! (Membalas seramkan wajah di wajah Presiden Merdiam)

59. PRESIDEN MERDIAM :
Itu gampang dan sangat mudah sekali. Dan itu akan saya lakukan sekarang juga. Pamong ikat dia di kursi itu dan tutup matanya.

60. PAMONG 1 & 2 :
Baik laksanakan, Presiden!

(Pamong 1 memaksa mendudukkan Adang di kursi, dan Pamong 2 mengambil tali dan kain untuk menutup mata Adang. Lalu, Pamong mengikat dan menutup mata Adang dengan posisinya terduduk)

61. ADANG :
Ayo tembak aku, Presiden! Tembak aku!

(Terus mengulangi kalimat nekat itu. Dan.., “Dor..!! Presiden Merdiam menembak. Peluru itu tepat mendarat ke dada Adang)

62. ADANG :
(Sekarat. Dengan suara yang terpatah-patah) Presiden..! Ter.. nyata.., kau.., bagaikan bujang.., baru berkeris.., bagai.., gadis baru bersubang.., dan.., bagai.., si buta.., baru.., bisa melihat...!(9) Akhhg! (Adang pun mati seketika)

(Setelah itu, tiba-tiba datang Pamong 3 menghampiri Presiden Merdiam)

63. PAMONG 3 :
Lapor, Presiden! Ada seorang laki-laki paruh baya ingin bertemu dengan Presiden. Dan dia sekarang ada di luar.

64. PRESIDEN MERDIAM :
Siapa dia? Dan apa maksud kedatangannya?

65. PAMONG 3 :
Dia mengaku, “bernama Long”. Dan maksud kedatangannya untuk menunjukkan keberadaan markas Negeri Lancang Merdeka, Presiden!

66. PRESIDEN MERDIAM :
Oh ia! Suruh dia masuk!

67. PAMONG 3 :
Baik, Presiden!

(Tak lama setelah itu, Pamong 3 membawa masuk Long ke dalam ruangan untuk berhadapan dengan Presiden Merdiam. Dan Pamong 3 kembali ke luar ruangan)

68. LONG :
(Sambil melihat situasi dan kondisi ruangan) Presiden, kenalkan saya...

69. PRESIDEN MERDIAM :
(Memotong ucapan Long) Saya sudah tahu namamu dan maksud tujuan kedatanganmu ke sini! Cepat ceritakan di mana Tab dan kawan-kawannya berada!

70. LONG :
Sebelum saya ceritakan di mana markas Tab, saya ceritakan dahulu, kalau kekuatan Tab, sudah mulai lumpuh. Karena dia hanya memiliki satu orang teman saja yang bernama Pieter. Pieter adalah salah seorang separatis yang lolos dari sergapan Pamong beberapa waktu lalu, pada saat mereka ingin memasang bendera Negeri Lancang Merdeka di sejumlah titik yang menjadi sasaran.

71. PRESIDEN MERDIAM :
Bagus! Sekarang kau rasakan separatis! Dan kau tidak akan bisa lagi memasang benderamu di Negara ini! Ha..ha..haa...! Oh ia, di mana Tab dan kawannya sekarang?

(Long membisikkan Presiden Merdiam. Dan Presiden Merdiam menyimak
bisikan Long)

72. PRESIDEN MERDIAM :
Hmm! Baik! Pamong.., kerahkan Pamong yang lain untuk menangkap Tab dan rekannya. Kalian ikut dengan dia untuk menangkapnya. Bawa mereka hidup-hidup. Dan kalau Si Long ini berkhianat, maka tembak saja dia. Mengerti?!

73. PAMONG 1, 2 & 3 :
Baik, Presiden!
(Pamong 1, 2, 3 dan Long keluar untuk menangkap Tab dan Pieter)

LAMPU PADAM

(Lalu, di kediaman target Presiden Merdiam, Tab dan Pieter terkepung oleh Pamong-pamong. Dari luar kediaman Tab, terdengar suara Pamong memberikan peringatan, “Agar Tab dan Pieter menyerah”. Dengan masuk paksa, Pamong-pamong menangkap Tab dan Pieter. Dan membawa ke luar keduanya dari rumah Tab untuk dibawa ke hadapan Presiden Merdiam. Tak lama kemudian datanglah sejumlah Pamong yang membawa 2 tawanannya, Tab dan Pieter, yang sudah terikat tangannya. Presiden Merdiam terlihat duduk di kursi kayu itu sambil menghisap rokoknya)

74. PRESIDEN MERDIAM :
Ha..., ha.., ha...!! Cina mati karena uang, Belanda mati karena pangkat, dan Melayu mati karena angan-angan.(10) Sekarang kau, Tab.., dan kau, Pieter, Si Separatis itu, saat ini sudah patah kedua kakinya, karena kekuatan kalian akan habis pada hari ini juga.

75. TAB :
(Dengan menatap tajam ke arah Presiden Merdiam) Melayu takkan pernah berangan-angan, tetapi dia bermimpi kenyataan oleh kodratnya. Dia tidak akan pernah pantang surut dari perjuangan yang telah tertancapkan. Melayu ingin ditatap sebagai Bangsa yang beradab, bukan sebagai Bangsa yang harus mencair bagai es yang terpanggang api.(11)

76. PIETER :
Kaki kami tidak akan pernah patah, Presiden. Walaupun dia patah, akan ada kaki-kaki anak-anak kami yang akan meneruskan perjuangan pedih ini, Presiden!

77. PRESIDEN MERDIAM :
Saya mengatasnamakan Negeri ini, hanya sekedar mengajak kalian untuk menjadi manusia yang patuh terhadap kedaulatan bangsa. Bukan separatis! Bagaimana?

78. TAB :
Presiden Merdiam, dari pada hidup berputih mata, lebih baik berputih tulang.(12)

79. PRESIDEN MERDIAM :
Berarti tandanya kalian akan sama seperti sahabat-sahabat kalian ini bukan? Kalian lihat! Lihat di hadapan kalian! Sahabat-sahabat kalian telah mati akibat ulahnya sendiri! Berarti kalian ingin menemui roh-roh sahabat kalian di alam baka sana, ha?!
80. PIETER :
Mati sekalipun aku bersedia, asalkan jiwa kami bisa bebas bahagia atas perjuangan kami yang sesat di jalan yang benar ini!

81. TAB :
Nyawa taruhannya aku bersedia, Presiden. Karena aku sudah berjanji dengan kematian untuk mencapai cita-cita rakyat kami. Dan kami rela mati, asalkan Negara ini mencatat sejarah sebagai Bangsa yang gagal untuk membahagiakan Bangsanya sendiri. Lalu sejarah juga mencatat, telah mati pahlawan-pahlawan Negeri Lancang yang ingin memerdekakan dari belenggu!

82. PRESIDEN MERDIAM :
Kau salah, Tab! Sejarah akan mencatat, “Kalau kalian mati secara konyol dan kesia-siaan belaka”. Saya yang mengatasnamakan Negara mau bertanya, “Apa yang membuat keinginan kalian untuk merdeka memisahkan diri dari Negara
tercinta ini?”

83. TAB :
Presiden.., kau pasti tahu situasi Negaramu ini. Negara ini telah carut marut. Ada banyak masyarakat yang masih saja tidak bisa menatap harapan dan cita-cita mereka karena telah putus asa atas nasibnya yang telah terampas kebahagiaannya. Lalu, berbagai pergolakan di berbagai daerah Negara ini setelah merdeka puluhan tahun lalu, sehingga ke hari ini hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah masih berjalan di jalan yang rusak parah. Munculnya gerakan separatisme yang menginginkan Negerinya merdeka dari bentuk Negara yang utuh, sebagai bukti nyata kacaunya hubungan baik itu. Secara struktural kekuasaan kendati pada era reformasi konsep desentralisasi telah diberlakukan, pada kenyataanya tidak berjalan sesuai dengan harapan, Presiden!

84. PIETER :
Dan ada permasalahan yang menggelitikkan, Presiden. Banyak masyarakatmu yang tidak memakai kolor karena mahalnya kolor bekas di pasaran.

85. PRESIDEN MERDIAM :
Tampaknya, saya tidak harus berlama-lama memutuskan untuk menghukum mati kalian. Karena kalian hanya bisa membuat masalah besar baru dalam persoalan yang banyak saat ini.
(Secara tiba-tiba muncullah Long di suasana mencekam itu. Dengan gayanya yang tenang, bangga, dan puas)

86. LONG :
Betul, Presiden! Segera hukum mati saja mereka. Karena di Negara ini akan dihukum mati apabila berkhianat. Ketika mereka sudah mati, maka yakinlah, Presiden, Negara ini akan aman dari aksi yang ingin merdeka. Ya.., separatisme! Tab.., dan kau, Pieter, sudah sering aku sampaikan, kalau posisi kalian akan berbahaya. Dengan aksi kalian, berarti kalian melawan Presiden, melawan pimpinan Negara.

87. TAB & PIETER :
Cueh!! (Meludah ke arah Long dari beberapa jarak posisi mereka)

88. PRESIDEN MERDIAM :
Pamong! Tutup mata kedua separatis ini. Dan tembak mati mereka sekarang juga!

89. PAMONG 1, 2, DAN 3 :
Baik laksanakan, Presiden!

90. TAB :
Perjuangan ini akan terus ada, Presiden!

91. PIETER :
Kami tidak akan pernah mati, Presiden!

92. TAB & PIETER :
Negeri Lancang Merdeka..! Negeri Lancang Merdeka..! Hidup Negeri Lancang..! Hidup Negeri Lancang..! (Dengan suara lantang)

(Pamong menutup mata Tab dan Pieter, lalu membawa ke tengah ruangan itu dan di sejajarkan untuk ditembak mati. Di hadapan Presiden, Merdiam dan Long, ketiga Pamong itu menembak mati Tab dan Pieter. Dor! Dor!. Dor! Tab dan Pieter tumbang. Mati seketika)

LAMPU PADAM

BABAK III

Pemain :
ANAK KECIL

Property/setting :
1. BENDERA NEGERI LANCANG MERDEKA
2. 1 BUAH KURSI KAYU
3. FOTO TAB, PIETER, AZLAINI, ADANG, PAIJAN, BESERTA BINGKAINYA
4. RADIO

Lokasi : RUANGAN KEDIAMAN TAB

(Di ruangan kediaman Tab, di sela-sela berita siaran radio yang menyiarkan, “Berakhirnya perjuangan Negeri Lancang Merdeka – dengan bukti matinya “otak” perjuangan separatisme,” seorang anak kecil memajang satu persatu foto kelima pahlawan Negeri Lancang di dinding. Setelah memajang kelima foto itu, anak kecil yang perawakannya tenang, mengambil bendera Negeri Lancang Merdeka yang berada di ruangan itu. Lalu, ia berlari kecil mengelilingi ruangan sambil mengibas-ngibaskan bendera yang sudah diikat dengan kayu panjang itu ke atas kepalanya)

93. ANAK KECIL :
Hidup Negeri Lancang..! Hidup Negeri Lancang..! Merdeka Negeri Lancang..! Negeri Lancang Merdeka..!

(Akhirnya setelah anak kecil itu puas mengelilingi ruangan, tetap beryel-yel, keluar ruangan dan menghilang)***

LAMPU PADAM PERLAHAN-LAHAN
-- SEKIAN --
Pekanbaru, ditulis dari tanggal 06 September 2007, 27, 28 Februari 2008, 03, 04, 13, 14, 18, 21 Maret 2008, 19 Juni 2008, pukul 00.31 WIB s/d 03.35 WIB. 28 Juni 2008, 15.03 s/d 15.35 WIB. 13 September 2008, 10.54 s/d 11.40 WIB.

Catatan peribahasa yang digunakan sesuai dengan urutan :

1. Kesusahan yang bertimpa-timpa datangnya.
2. Hati yang hancur luluh karena menderita kesedihan.
3. Hal seseorang yang sangat menyusahkan dirinya, karena hendak bercita-cita yang berlebihan.
4. Menurut pertimbangan dapat dapat dikerjakan, tetapi banyak halangan untuk melaksanakan.
5. Pekerjaan yang tanpa hasil.
6. Sesuatu yang terlanjur, susah memperbaikinya kembali.
7. Jangan gentar melawan seseorang yang keadaanya sebanding/sepadan dengan kita.
8. Ada yang baik, tetapi mau yang buruk juga.
9. Seorang yang sangat sombong karena pangkat kekuasaan, atau karena kekayaan yang baru diperolehnya.
10. Mitos/kebiasaan: Bangsa Cina selalu berusaha mengumpulkan uang. Belanda mencari pangkat yang tinggi. Dan Bangsa Melayu selalu berangan-angan akan mendapat sesuatu sehingga kadang-kadang mereka teraniaya karena amat tinggi cita-citanya.
11. Tidak akan menyerah walaupun kekuatan lawan lebih besar.
12. Pindah dari sesuatu tempat ke tempat yang lain yang sama buruknya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar