Senin, 23 Juli 2012

Cerpen-cerpen Karya Parlindungan


Presiden Kehilangan Negara

Pak Presiden! Negara Bapak akan digusur. Katanya, wilayah Bapak akan dijadikan kawasan wisata, tempat ibadah, dan pusat pengembangan budaya Melayu oleh Negara tetangga. Bagaimana tanggapan Bapak? Kata seorang wartawan kepada Presiden Pelacur, Damha Ide. Dan Presiden pun terdiam. Terperangah. “Masa ia?” Hanya kata itu yang ia jawab. Akhirnya ia meninggalkan wartawan itu tanpa pamit menuju mobilnya yang sudah lama parkir di laman kantor The Malay Arts Council.

Melihat alis naik serta kening Damha Ide berkerut, paras wajah wartawan itu pun ikut berubah. Sambil menaikkan kedua bahunya, wartawan pergi tanpa pesan. Akhirnya, keduanya hilang dari pandanganku. Yang satu dari sisi kiriku dan sisi kananku adalah Damha Ide.

Selang satu hari, aku membaca koran terkemuka di kota tempat aku lahir ini. Lokalisasi Teleju akan digusur. Ratusan pelacur yang ada di lokalisasi tersebut akan dipulangkan dan sebahagiannya lagi akan diberikan pelatihan supaya tidak melacurkan diri lagi. Penggusuran ini dilakukan, terkait keberadaan lokalisasi Teleju sudah cukup meresahkan warga serta akibat banyak tuntutan berbagai kalangan agar lokalisasi Teleju segera ditutup.

Itu sekelumit kalimat yang ada dalam koran itu. Kalaulah dibaca hingga tuntas, prinsipnya, Teleju segera ditutup 2010 ini juga. Hal ini dibuktikan, kalau pemerintah setempat telah menyiapkan anggaran untuk mengganti rugi lahan serta memulangkan dan memberikan pelatihan bagi pelacur-pelacur di sana.

Damha Ide ternyata juga sudah membaca surat kabar itu. Dia pun berinisiatif menyelenggarakan temu pers. Klarifikasi, kalau Negaranya jangan sampai digusur. Dia memerintahkan aku untuk mengundang semua wartawan dari berbagai media cetak, elektronik, dan media online. Karena aku adalah staf administrasi Kepresidenan, aku menyegerakan memberi informasi kepada wartawan-wartawan, kalau hari ini Presiden Pelacur menggelar jumpa pers di Sekretariat Presiden The Malay Arts Council, kantor Damha Ide, tapi bukan kantor Presiden Pelacur.

Seperti layaknya presiden-presiden bangsa besar lainnya di muka bumi ini, Presiden Pelacur ini juga berlagak seperti itu. Hanya sebuah meja pidato setinggi perutnya. Tanpa mic, ia menjelaskan tetang rencana pemerintah tetangganya yang akan menggusur Negaranya yang sudah lama ia pimpin.

“Saudara-saudara wartawan sekalian. Terkait atas rencana Negara tetangga yang akan menggusur Negara saya, ini sebagai tanda akan ada perperangan. Karena, ada Negara lain yang berusaha mengganggu ketentraman bangsa saya. Makanya, saya menggelar jumpa pers hari ini, kalau saya ingin menyatakan, saya selaku Presiden Pelacur menolak keras atas rencana itu.

Bila rencana itu tetap saja bergulir, maka, saya akan kerahkan masyarakat saya untuk aksi turun ke jalan sambil menjajalkan apa-apa saja yang mereka jajalkan setiap harinya,” kata Damha Ide sambil sesekali menatap kiri dan kanan ke arah wartawan.

Sebelum dia mengakhiri pembicaraanya, Damha Ide berpesan. “Bantu Negara saya,” pintanya sambil berlalu meninggalkan meja pidatonya.
“Pak Presiden, bagaimana kalau penggusuran ini tetap berlangsung?” kata seorang wartawan menyeletuk.

Presiden pun tak menjawab. Dia tetap pergi meninggalkan puluhan wartawan di ruangan itu. Suasana berbisik-bisik memadati ruangan. Dan akhirnya wartawan bubar dengan sendirinya.

***
Keesokan harinya, media massa, baik media cetak, elektronik, maupun online tetap memuat, kalau lokalisasi Teleju tetap digusur dan dibebaskan kawasan itu dari praktek prostitusi. Ketekatan itu sudah kuat, karena sudah bergulir sejak beberapa tahun sebelumnya. Ditambah lagi, di 2010 ini, pemerintah tetangga telah menganggarkan dananya untuk pengganti-rugi lahan lokalisasi Teleju.

Damha Ide marah besar. Di ruangannya, aku perhatikan persis dia membanting bingkai dan foto di mejanya. Gambar foto itu sewaktu ia bersama ratusan pelacur seusai upacara kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2008 di Negaranya, Teleju.
“Negaraku! Oh.. Negaraku…!” teriakan itu memecah sepinya di ruang kerjanya.

Aku yang tengah duduk di meja kerjaku pun beranjak ke arah kepingan kaca bingkai foto. Mengutip satu per satu pecahan kaca. Kukumpulkan dalam tong sampah. Sambil mengutip, sekali-kali aku menatap wajahnya. Tanpa sepengetahuan, matanya yang tengah terpejam kulihat setetes air mata jatuh ke pipi dari mata sebelah kirinya.

“Patutlah, kalau dalam beberapa hari ini, kelopak mata kiriku selalu berkedip-kedip sendiri. Ini sebagai tanda, aku mau menangis. Betul adanya,” sambil terisak dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Sambil membawa tong sampah, aku melangkah ke luar ruangan. “Par!” panggil Presiden.
“Saya, Pak Presiden,” jawabku sambil cepat berbalik ke arah duduknya.
“Hmm... Tak jadilah. Jangan kau buang foto yang kucampakkan tadi,” katanya sambil ia membuka laptopnya. “Baik, Pak Presiden,” jawabku singkat.

Tak lama setelah itu, aku kembali ke meja kerjaku. Dan aku menyaksikan ia mengetik di laptopnya. Aku tak tahu persis apa sebenarnya yang ia ketik. Kutahu, ia memang hobi menulis puisi, cerpen, ataupun artikel. Dia juga dikenal sebagai seniman. Kenapa tidak. Sebab itulah ia dinobatkan sebagai Ketua The Malay Arts Council.

Beberapa puluh menit aku juga tak bisa berbuat banyak di ruangan itu. Diam. Mencekam. Sedikit ada rasa takut. Cuma aku sedikit terhibur, karena di laptop Pak Presiden menyalakan lagu-lagu jazz Melayu. “Par!” aku terkejut karena Pak Presiden memanggil aku.

“Saya, Pak Presiden,” berdiri persis di depannya seraya kedua telapak tanganku saling menggenggam di hadapan sleting celanaku. “Kau antarkan surat ini ke Kantor Pos sekarang juga. Setelah itu, kau boleh pulang. Dan datang lagi seperti biasa esok hari,” pintanya.

Tanpa harus bertanya, tentang isi surat ini, aku langsung beranjak ke luar ruangan yang telah membuat aku kaku dalam beberapa puluh menit. Aku pergi ke Kantor Pos dan melaksanakan perintah Pak Presiden.

***

Beberapa hari setelah itu. Ada suasana yang berbeda dari hari-hari biasanya. Pak Presiden yang tanpa ada pengawal khusus itu, setiap pagi datang lebih dulu dariku. Biasanya pukul 10.00 WIB atau 11.00 WIB. Tapi dalam beberapa hari ini, aku melihat pukul 07.30 WIB Bapak selalu on time. Nonton teve, baca koran, buka internet, dan merokok. Itu saja setiap harinya kulihat dalam beberapa hari ini.

Saat aku masuk kerja pagi Senin. Belum lagi aku duduk di kursi kerjaku, aku sudah ditodong pertanyaan Pak Presiden. “Ada surat masuk untuk saya, Par?” tanyanya. “Tidak ada, Pak Presiden!” jawabku singkat.

“Satu pun surat tak ada buatku dalam beberapa hari ini?” mempertegas kembali pertanyaanya. “Tidak ada satu pun, Pak Presiden,” jawabku kembali.

Sambil ia menggeleng-gelengkan kepalanya, hanya beberapa detik aku berdiri, langsung aku duduk ke kursi kerjaku. Tak lama setelah itu, aku mendengar petugas antar surat alias tukang pos mengetuk pintu ruang kerja kami. “Pos! Pos! Ada surat!” teriakan tukang pos dari luar ruangan.

Aku mengambil surat itu setelah aku menandatangani surat serah terima dari tukang pos. Aku masuk ke ruangan. Aku baca surat ini untuk Pak Presiden. Dan sekilas aku baca pula si pengirim surat ini dari Komisi Nasional Hak Azasi Manusia.

“Pak Presiden. Ini ada surat dari Komnas HAM,” Presiden Pelacur mengambil surat itu dan dengan gegas ia membuka serta membacanya.

Tak lama kemudian, Pak Presiden kembali aku melihatnya marah besar. Mengoyak-ngoyak kertas yang ia terima. Kasar. Mukanya merah. Aku takut. “Sama saja semuanya! Tak adil! Tak Bijaksana!,” marah sejadi-jadinya.

Aku hanya bisa menatapnya dan satu dua kali tertunduk. Dan lalu menatapnya. Ada rasa kasihan. Karena, aku tahu betul Pak Presiden. Sebab, aku sudah hampir 10 tahun ikut bekerja dengannya.

Baru sekali ini aku melihat Pak Presiden marah besar. Macam tak ada tujuan. Kehilangan kendali. Dia panik. Dan terduduk di kursi singgasananya. Dia diam kaku sambil meletakkan kedua tangannya di keningnya.

Aku tak tahu persis apa yang menyebabkan ia semarah ini. Aku memberanikan diri mengambil sobekan-sobekan kertas itu. Karena aku tahu, secarik kertas itulah yang mengakibatkan dia marah besar. Seperti aku mengutip puing-puing kaca yang ia pecahkan beberapa hari lalu, perlahan-lahan aku menyatukan robekan kertas itu. Lalu aku membacanya.

Menindaklanjuti surat permohonan saudara tentang keinginan adanya pembelaan untuk demi rasa keadilan terhadap mempertahankan keberadaan Negara Teleju sebagai lokalisasi, bersama surat ini kami menolak atas permohonan saudara karena Negara Teleju bukanlah sebuah Negara yang patut diperjuangkan untuk dibela.

Itu sekelumit isi suratnya. Masih sebatas persoalan dirinya dengan Negara tetangganya yang berusaha untuk menggusur lokalisasi Teleju, sebagai sebuah Negara yang dianggap Pak Presiden Pelacur, Damha Ide itu adalah wilayah hukumnya. Sebuah Negara yang patut diperjuangkan hak azasi para pelacur. Memang, satu sisi benar, dan satu sisi tak masuk akal.

Damha Ide yang kuanggap Presiden Pelacur ini pergi ke luar ruangan dengan cepat. “Pak Presiden!” aku memanggilnya, tapi tak dihiraukan.
Aku mengikutinya juga dengan cepat. Saat Presiden membuka pintu, sudah ada puluhan wartawan menantinya sambil menyodorkan tape recorder, mic kamera, dan pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi.

Pak Presiden melaluinya begitu saja. Dia tetap dikejar wartawan. Sehingga ada satu pertanyaan wartawan yang membuat dia berhenti sejenak.
“Teleju akhirnya digusur semalam, Pak. Bagaimana tanggapan Bapak?” tanya salah seorang wartawan.

“Dalam sejarah dunia, baru kali ini Presiden yang tak memiliki Negara. Walaupun demikian, aku tetap memegang tahta ini. Biarlah sejarah yang mencatat waktu ini,” jawabnya padat.

“Lalu, bagaimana dengan rencana Bapak tentang akan ada aksi kerahkan masyarakat Teleju untuk turun ke jalan sambil menjajalkan apa-apa saja yang mereka jajalkan setiap harinya, Pak?” tanya lagi seorang wartawan. Ia langsung masuk ke dalam mobilnya. Lalu melaju hingga hilang dari pandangan. “Selamat jalan, Presiden Pelacur,” secara serentak, puluhan wartawan itu menyampaikan pesannya.***


Pekanbaru, 21 Juni 2010, 16 | 05 WIB

Penulis adalah :
Parlindungan
Pendiri dan Pembina Sanggar Lisendra Dua Terbilang
Universitas Islam Riau
Saat ini sebagai Chief Editor Situs Berita www.RiauBisnis.com
Email : paral80@yahoo.com


Mencari Menantu
Oleh : Parlindungan

Nurhayati sudah lama mendambakan untuk segera menikah. Dengan usianya yang sudah memasuki kepala tiga, adalah umur yang tidak muda bagi seorang perempuan yang belum juga menikah. Di kampungnya dengan usianya itu, tentu menjadi bahan cerita panjang warga, dan bahkan berimbas menjadi sindiran warga terhadap dirinya. Padahal di kampung Nurhayati, orang-orang tua di sana masih kerap sekali menjodohkan anaknya yang belum juga kunjung mendapatkan pasangan hidup.

Kebiasaan itulah yang menjadi tradisi di Kampung Dalam tempat kelahiran Nurhayati 37 tahun silam. Yang ironisnya lagi, tradisi di kampung itu apabila hendak menikahkan anak perempuannya, lelaki pilihan orang tua atau pilihan si anak perempuan wajib dibeli (bukan istilah sebenarnya) dengan harga yang bervariasi. Tergantung dari kedudukannya, titel, kemapamannya, dan juga melihat pekerjan si pria.

Apabila jodohnya adalah seorang kuli bangunan, tentu harganya tidak sama dengan pria yang memiliki profesi seorang pengacara. Lalu, begitu juga dengan seorang polisi berbeda harganya dengan pria berprofesi dokter. Dan harga seorang pria tamatan strata 1, sangat berbeda sekali harganya dengan pria yang memiliki latar belakang pendidikan strata 2, ataupun strata 3 – tentu harganya jauh lebih mahal – bisa mencapai puluhan juta bagi strata 1, dan bisa pula ratusan juta rupiah bagi laki-laki yang memiliki pendidikan strata 3.

Harga teredah, tentu pria yang tidak mengemban pendidikan tinggi, pekerjaan yang penghasilan cukup untuk makan, dan tentu dari keluarga yang biasa-biasa pula. Aneh memang.

Tidak tanggung-tanggung. Tetapi itu merupakan kebudayaan dan tradisi lama yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Banyak pula yang beranggapan, kalau kebudayaan dan tradisi lama tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tetapi karena sudah ada sejak nenek moyang mereka, ajaran agama pun bisa tidak dijadikan patokan.

Nurhayati kerap terperanga. Kenapa sulit menemukan jodoh. Tanda tanya itu yang membumbui kerisauan hatinya. Ada pada dirinya, sementara teman-temanya di kampung sudah pada menikah semua. Bahkan ada temannya yang sudah memiliki cucu. Tetapi tidak itu yang menjadi acuan Nurhayati agar segera menemukan jodoh, melainkan tetap mempertahankan pada pertanyaanya “Kenapa belum menemukan jodoh?”. Apalagi Nurhayati tidak pernah sama sekali berpacaran selama hidupnya.

Sehingga pada suatu hari, sebelum mewujudkan niatnya untuk pulang kampung, Nurhayati sempat menghidangkan makanan di rumah makan tempat Nurhayati bekerja. Nurhayati mengamati, kalau pria itu menaruh hati padanya. Bukti itu terlihat, ketika semenjak pria itu duduk setelah memesan makanan, pria itu selalu memperhatikan dirinya, dan Nurhayati pun sempat curi-curi pandang ke pria itu.

Nurhyati sempat bertanya dalam hatinya: “Apakah ada yang aneh pada diriku? Atau dia menyukaiku? Tapi tidak mungkinlah, mana ada laki-laki yang mau pada diriku yang usiaku sudah kepala tiga. Hampir Empat lagi!”

Kuat dugaan Nurhayati kalau pria itu menyukainya, ketika pria itu menggenggam tangan Nurhyati pada saat sepiring nasi beserta lauk untuk pria itu terhidangkan ke meja laki-laki yang memiliki tampang suram, berambut gondrong, berkumis, jenggotan lebat, bau, lusuh, urak-urakan, dan kumuh. “Jam berapa kamu pulang dik? Aku tunggu kau ya. Biar nanti ku antar kau pulang wangiku!”

Karena perkataan itu adalah yang pertama kalinya Nurhayati terima dari seorang laki-laki, Nurhayatipun sulit menolaknya, dan menerima tawaran terindah itu baginya.

Pukul 22.00 Wib, adalah waktu pulang Nurhayati dari pekerjaannya. Tanpa disadarinya, laki-laki yang belum diketahui namanya itu sudah ada di hadapan Nurhayati, ketika keluar satu langkah dari pintu masuk rumah makan.

Disela-sela perjalanan mereka, ketahuanlah nama pria itu Yusril. Dan yang menariknya lagi, ternyata mereka satu kampung. Dan secara kebetulan, mereka sama-sama ada rencana akan pulang kampung. Nurhayati makin semangat melayani obrolan antara mereka berdua, ketika pengakuan Yusril, kalau dirinya adalah pria bujangan yang sudah lama hidup sendiri tanpa seorang perempuan mendampinginya.

Usia Yusril ternyata lima tahun lebih tua dari Nurhayati. Ternyata selama ini mereka sama-sama merasakan penderitaan tidak menemukan jodoh. Dan sama-sama menderita, akibat angan-angan dari sebuah pernikahan.

Tanpa harus berfikir panjang, merekapun menjalin hubungan emosional yang erat. Mereka berpacaran. Dan memiliki cita-cita agar tidak terlalu lama berpacaran, dan berharap agar mengakhiri masa lajang mereka untuk segera menyatukan antara dua keluarga.

Nurhyati bangga dengan Yusril. Selain dirinya baik, juga memiliki latar belakang pendidikan strata 2. Walaupun antara gelarnya tidak sesuai dengan bentuk fisiknya yang urak-urakan, bau, lusuh, gondrong, berkumis lebat, dan berjenggotan tersebut. Tidak menjadi persoalan yang begitu signifikan bagi Nurhayati. Dan Nurhayati yakin keluarganya pasti senang dengan pertemuan itu nantinya.

***

Tiba kesepakatan untuk sama-sama pulang ke kampung mereka, tentu menjadi moment penting dan tidak sembarangan bagi Nurhayati, terlebih lagi bagi Yusril untuk diperkenalkan kepada kedua orang tua Nurhayati.

Tanpa menjadi percakapan yang panjang antara kedua orangtua Yusril dan orang tua Nurhayati untuk menceritakan siapa sebenarnya Yusril dan siapa sebenarnya Nurhayati, kedua belah pihak sama-sama sepakat untuk menyatukan hubungan saudara khusus.

Perundingan tradisi kampung itu untuk membeli sang calon pengantin pria sebelum pernikahan berlangsung, menjadi perbincangan yang sangat alot antara kedua belah pihak. Yang menjadi kewalahan ada di pihak keluarga Nurhayati. Mereka merasa bingung untuk membeli Yusril yang memiliki latar belakang pendidikan strata 2 itu. Bahkan untuk menentukan masalah harga sekalipun, mereka sempat memanggil tokoh-tokoh pemuka masyarakat dan tokoh adat untuk membahasnya.

Keputusan diambil dari berbagai pengkajian, mengingat dan menimbang oleh tokoh masyarakat dan tokoh adat di kampung itu. Ternyata Yusril hanya dihargai sebesar Rp750 ribu saja. Pihak keluarga Yusril terkejut atas keputusan itu. Aneh, strata 2 dihargai Rp750 ribu.

“Mana mungkin anak saya yang sekolahnya sampai strata 2 hanya dihargai 750 ribu rupiah saja! Sementara kami menyekolahkan Yusril hingga mendapat gelar master bisa mencapai puluhan juta rupiah. Mana mungkin dibalas dengan harga ratusan ribu! Kami tidak terima!” emosi ibu Yusril. Dan Yusril beserta bapaknya hanya mampu berdiam dan menenangkan ibunya yang telah hilang kesadaran.
“Malangnya nasibmu nak! Enggan lalu atah jatuh, anak raja mati ditimpanya,”* emosi yang terendam sehingga mencerca dengan peribahasa itu.

Dengan rasa kesabaran yang tinggi, orangtua laki-laki Nurhayati pun menjelaskan hal ikhwalnya kenapa Yusril dihargai Rp750 ribu. “Kami tahu perasaan ibu, bapak, dan nak Yusril. Dan kami tahu sudah banyak uang yang ibu keluarkan, agar Yusril bisa mendapatkan gelar sarjana apalagi hingga strata 2. Tetapi ini adalah keputusannya! Di Kampung Dalam ini, untuk seniman seperti Yusril yang memiliki gelar strata 2 dihargai Rp750 ribu. Sebenarnya harga seniman strata 2 hanya dihargai Rp500 ribu.

Karena kita punya niat baik aja, sehingga kami mau membeli 750 ribu rupiah!” jawaban itu yang dilontarkan orangtua laki-laki Nurhayati untuk menenangkan situasi yang tidak kondusif itu.

“Kalau tahu segitu harga seorang seniman, lebih baik anakku tidak disekolahkan sampai sarjana. Lebih baik dia bekerja sebagai kuli bangunan saja!” sindir ibu Yusril sambil menangis tersedu-sedu.

***

Akhirnya Yusril dan Nurhayati tetap menikah, dan mereka tidak mempersoalkan harga seorang laki-laki dengan rupiah, melainkan atas dasar kesucian hati untuk rasa saling memiliki, suka sama suka, dan asalkan bahagia.

***

“Ternyata yang gratis-gratis enak juga ya bang?” ungkap Nurhayati lugu sambil mengusap keringat yang ada di keningnya pada tengah malam pertama mereka. ***

Pekanbaru, 16, 17, 20,21 Mei, 19 Desember 2006

* enggan lalu atah jatuh, anak raja mati ditimpanya
(orang yang tidak bersalah, dituduh melakukan kejahatan, karena kebetulan berada di tempat itu)


Penulis adalah:

Parlindungan
Kelahiran Pekanbaru, 31 Agustus 1980
Tinggal di Kota Pekanbaru
Alumni Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR)
Telah menerbitkan kumpulan sajak antologi tunggalnya berjudul “Tak-Kan” (YPR, 2004) dan kumpulan puisi antologi bersama “Belantara Kata” (SWA- UIR Press 2004). Kemudian kumpulan puisi antologi bersama berjudul Berkata Kita, Unri Press, 2008
Saat ini sebagai Chief Editor Situs Berita www.riaubisnis.com
Juga sebagai Pembina Sanggar Seni Lisendra Dua Terbilang UIR
e-mail : parlindunganriau@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar