Senin, 23 Juli 2012

Puisi-puisi Karya Parlindungan


PUISI 2005
Matikan Aku Dengan Cinta

Cinta…
Ragaku sudah diterpa kesunyian oleh angin lalu
Aku masih tetap menunggu datangnya ungkapan kasih itu
Setiap Ahad aku selalu bertanya: "Sudah Ahad keberapa kali ini?"
Padahal setiap Ahad aku selalu menanti kata cinta ke batin

Lekukan daun-daun yang menjulur ke tanah
Sudah layu karena cahaya matahari sudah tidak lagi terarah
Sayupan angin harapan bukan lagi aku inginkan
Karena cinta dahulu yang aku temukan kini menjadi kenangan

Aku masih ingat ketika cinta bukan lagi harus aku miliki
Padahal sudah menjadi pikun aku pikiri
Menjadi lalu cinta itu, dan tak pernah kembali

Cinta…
Senangkan aku dengan cinta
Satukan aku yang hina ini ke paras wajah agama
Pelukkan aku dengan jiwa-jiwa rupa

Terangkan hidup yang gundah menjadi hidup seperti seni
Percikan aku dengan air dari mata air sijorni dari kampungku
Carikan aku bunga indah tak berbiji
Di dahan cinta dahulu

Cinta…
Gayuhkan labuan cinta ke desa yang bukan desa hampa
Hidupkan aku dengan air mata bahagia
Lalu… tolong matikan aku dengan cinta

Pekanbaru gundah, 23 November 2004


Satupun Tak Aku Miliki

Cinta dahulu,
Kemana cinta dahulu yang penuh harapan dan penuh pujaan
Setetes pun aku tak miliki

Cinta dahulu,
Sudah jauh aku melangkah mencari cinta
sambil memijak bara-bara merah ke kutup utara
Sebijik pun tak aku miliki

Cinta dahulu,
Menyayat kalbu yang luluh oleh pelasah genggaman
Senapas pun susah aku miliki

Cinta dahulu,
Mampu aku gali diratapan kesunyian yang gelap
Demi impian yang diabadikan
Seabadi pun tak mampu aku miliki

Cinta dahulu,
Tidak mampu aku temukan di keramaian orang yang sedang mencari
Satu pun tak kuasa aku miliki

Pantaskah aku memiliki?
Atau aku tetap saja mencari orang yang mampu memiliki aku!
Pasti, satupun tak aku miliki

Pekanbaru, 23 November 2004


Sujudku Kehadapan-Mu
(Dibaca Pada Saat Pasar Seni DKR Bersama Husnu Abadi Tanggal 30 Juli 2005)

I
Sujudku kehadapan-Mu,
Aku menangis sambil menertawakan dosaku setahun lalu,
Bukan kuharap dosa itu singgah
Hanya saja kesunyian diri yang mampu raungi kekosongan hati
Untuk jadikan diri singgahkan dosa dunia itu

Aku harus terima itu,
Dosa dunia yang kumiliki
Akan aku terima kado durjana
Di saat nanti semua manusia yang hidup,
Lalu, sekarang dan yang hidup akan datang
Bersua ditempat belum pernah terbayang

Betapa buruknya ciptaan Tuhan pada saat itu
Mereka, aku dan dia, telanjang,
Kepanasan, merintih dan menangis
Untuk menerima giliran itu

Sujudku kehadapan-Mu,
Aku sadari itu Tuhan…
Aku kalahkan ungkapan-Mu
Demi satu makna…, ya…kau dunia!
Hanya kudapat bagian kecil dari ciptaan-Mu
Lalu tak pernah ku terima
Bagian kecil harapan Nabi-nabi-Mu

Tuhan…,
Sujudku kehadapan-Mu
Hanya menangis, meminta keajaiban diri-Mu
Untuk mampu maafkan aku,
Untuk mampu hapus dosaku,
Untuk mampu kembalikan aku seperti bayi dahulu
Dan untuk mampu aku kembali sujud kepada-Mu

Sujudku kehadapan-Mu, Tuhan…
Satu itu saja yang aku sulit ratapi
Ya…, dosa!

II
Dulu aku sempat berpikir
Apakah ada dosa itu kediri yang bukan Kau cipta
Berikan aku ampunan-Mu Tuhan…
Aku janjikan pada diri ini
Satu kata yang kutangisi tiap di malam-Mu
Ampun…, taubat, ampunkan dosaku,
Aku bertaubat Tuhanku!
Aku bertaubat!

Sujudku kehadapan-Mu Tuhan…
Aku ulangi makna dahulu di tahun ini
Satu yang sulit aku arungi buat-Mu Tuhan…
Kata nashuha, kata sebenarnya minta ampun
Aku bertaubat…
Aku bertaubat untuk satu harapan cerahnya mata hati
Untuk kembali beningkan jiwa durja
Untuk satukan pelupuk mata dengan kening ke tanah
Dengan hati ke jiwa-Mu,
Dengan punggung terpatah ruku’ untuk-Mu Tuhan!
Aku bertaubat…

III
Semenjak tahun ini akan mulai bertukar
Aku terus mampukan diri
Untuk sujudku kehadapan-Mu…
Kalau Kau tak mau terima ketulusan ini
Murka sudah harapanku
Untuk menjadi seorang manusia
Ya.. sebenar-benarnya manusia
Yang diharapkan Nabi-Mu dahulu
Aku merugi itu…

Kemana lagi aku harus meneteskan air mata taubat Tuhan
Apabila aku bukan lagi menempatkan diri yang taubat
Kecuali kehadapan-Mu Tuhan
Aku akui…,
aku adalah orang yang merugi untuk itu
Taubatku harapanku kelak
Untuk mendapatkan surga yang ada dicipta-Mu

Sujudku kehadapan-Mu
Tuhan…!

1 Syawal 1425 Hijriah, 14 November 2004


Aku Merindukan-Mu

Perjalanan yang aku telusuri
Kujajaki pipa-pipa hitam
Yang selalu diterpa hujan dan panas
Aku bayangi diri-Mu
Dan kau ada diantara belahan perjalananku
Hanya kedipan mata-Mu
Yang mampu segera menibakan perjalananku

Mengingatkan Kau,
Berarti aku harus mampu kembali genggam tangan-Mu

Sudah jelajahi perjalanan itu
Rasanya sulit untuk sampai
Ketika aku masih saja merasa kehilangan-Mu
Sudah kuingatkan keberadanku di kota sejarah
Ternyata kesejarahan itu
Tak mampu mengalahkan aku kehilangan-Mu sekejap penantian

Tiupan angin malam terasa dingin
Apabila hati terpanggang sucikan kembali pertemuan

Sudah lupakan kota sejarah itu
Hanya jayakan sejarah aku dan diri-Mu
Di pelataran indah
Yang selalu kita ukir setiap senja hingga akhir malam
Rinduku bukan lagi senyapnya keheningan habis malam
Tapi rinduku adalah kembalinya keriangan siang
Yang baru saja habis dari malam itu

Aku segerakan pertemuan kembali
Demi menjenguk kedipan matamu yang merayu

Siak, 18 Desember 2004


Ibu Itu : Hanya itu yang Didapatinya
Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006

Sendal jepit yang selalu kau bawa
Telah berhasil cakarkan aspal yang melepuh akibat teriknya matahari
Tidak setimpal dari jerihmu untuk resapkan setitik khayalan

Enkau telah berhasil menyeret sepeda tua
Yang dibelakangnya tergonceng jajalan
Yang akan kau bawa ke anjungan
Hanya segantang terjual
Untuk kembali rasakan setitik khayalan itu

Sayangnya…
Keringatmu hanya terperas lalu menetes di lubang bajumu
Dan lalu kering terbawa oleh angin siang
Tercampur panasnya tepian air

Ibu itu sedikit pun tanpa meronta keberadaanya
Lalu dirinya hanya berharap
Agar bisa bertemu dengan siang itu
Supaya kembali jajalkan jualannya
Keanjungan terik keramaian

Ibu itu…
Hanya itu yang ditemuinya…

Siak, 19 Desember 2004


Di Hari-Mu Ibu…

Cinta yang kuberi sepenuh kepedulianku
Tak menjadi ombak yang dapat menghantam pasir-pasir tersusun
Yang lalu tergeret kelaut
Dan lalu kembali menyeret pasir itu setiap harinya
Keindahan jiwa-Mu bagaikan banyaknya pasir itu
Yang tak’kan perah habis walaupun hanya penuhi keinginan lautan
Perjalanan-Mu, kecintaan-Mu adalah kemudi yang terarah
Ibu…
Irisan pisau-pisau yang bermata
Terkalahkan oleh keagungan-Mu
Dan pisau-pisau itu hanya ada di silat kata-Mu
Menjadi tauladan yang agung
Dan menjadi manusia yang sempurna

Pekanbaru, 05 Januari 2005


Percintaan Yang Berakhir Penderitaan

Pada hari Sabtu 08 Januari 2005
Di tempat aku menari kebahagian
Yang kudampingi kesedihan
Di tempat itu aku menangis
Sambil menatap huruf O dan K pada komputer di hadapanku
Menyesali kalau aku sudah bercinta dengan-Nya

Tuhan aku benci Kau
Kalau Kau menciptakan rasa kesedihan pada diri ini
Aku tak sanggup….
Aku pinta kesedihan itu diberi pada saat aku bukan lagi bernyawa

Hidupkan cinta yang abadi bagi diri-Nya
Aku sayang Dia…
Aku tak-kan pernah lupakan dia…
Walau aku sudah dimiliki orang
Kebahagian aku juga bahagian sekelumit cintaku pada-Nya

Aku harap cintaku setengahnya untuk Dia
Dan setengahnya adalah cintaku kepada hati
Yang gundah pada saat itu

Aku tak-kan pernah lupakan kenangan itu…
Aku ingat tangis-Nya…
Yang tidur dipundakku
Sambil katakan; "Aku tak-kan pernah benci sama diri kamu sayang…
Aku akan ingat selalu kamu sayang…?"

Aku hanya mampu menangis
Dan berkata dalam hati; "Aku tetap menyanyangi-Mu
Aku ingin selalu bersama-Mu…
Walau aku sudah dimiliki orang yang bukan Kau kehendaki
Maafkan aku Sayang…"

Pekanbaru, 08 Januari 2005


Di Antara Jilbab dan Impian-Mu
(Dibaca Pada Saat Pasar Seni DKR Bersama Husnu Abadi Tanggal 30 Juli 2005)

Putih…
Selalu menandakan kesucian
Lalu…
Tak selamanya hitam menandakan ketakaburan

Putih juga dilambangkan ada di hati dan jiwa-Mu
Bukan selain putih dan kesucian
Tapi juga kewangian yang selalu mengaroma

Kesucian sudah mulai tercipta
Pada saat kesucian hati dan jiwa-Mu
Genap dengan jilbab yang ada di ribuan roma-roma di kepala-MU

Putih.. selalu menandakan kesucian
Lalu..tak selamanya hitam menandakan ketakaburan

Kini kesucian itu sudah aku ratap setiap detiknya
Bahkan jilbab-Nya sama tegak dengan sujud-Nya mengaggungkan…

Jilbab yang mengena-Nya
Mampu pecahkan batu-batu alam
Yang terendam ratusan tahun lalu di kerak bumi
Untuk wujudkan setitik impia-Nya

Impia-Nya adalah sebuah ketulusan
Tegakkan sunnah Rasul bukan karena rayuan-rayuan belaka

Aku masih ingat jilbab yang merona
Kadang Ia mampu merobah mata angin kesebelah mata air
Bukan air lautan dan bukan air sungai dan danau
Tapi…
Air mata….air mata dosa…

Diri-Nya sempat menangis
Karena dulu jilbab itu jauh dari jati-Nya
Kini jilbab itu kembali menangisi diri-Nya
Karena jilbab itu kembali mengenang impian-Nya

Dia terus menatap jilbab itu :
“Apa keistimewaan darinya, bukankah jilbab itu jauhi dirinya”

Sempat menerawang kalau jilbab-Nya kelak bukan lagi ada di miliki
Berbulan-bulan sudah…
Dirinya ditemani oleh keriangan wangi dan kesucian
Sudah berbulan-bulan jilbab-Mu
Mengkerudungi roma-roma kepala, hati dan kejiwaan-Mu

Itulah jilbab dari-Mu
Seiring dengan impian suci-Mu…

Pekanbaru, 15 Juli 2005


Maaf Bila Aku Memilihnya

Maaf bila aku memilihnya,
Karena aku tak pernah menganggap kalau Kau adalah pendampingku
dalam hidup duaku
Aku yakin dirimu juga tetap yang terbaik
Karen aku bisa belajar mencintai seseorang
Dari tingkah mu yang tertanam dari lubuk kerinduan silam

Maaf bila aku memilihnya,
Pujaan mu tetap menjadi kenang
Sayupnya lorong-lorong kelam
Pada saat Indonesia bagian barat berduka
Dan Kau lebih terluka pada hari itu

Maaf bila aku memilihnya,
Sudahlah,
Aku berjanji kalau kau juga pernah terkenang dibagian jiwaku
Dan Kau orang yang sudah aku sanjung
Diantara hawa yang ada

Maaf bila aku mencintainya,
Aku berani mencintainya
Karena ketulusan diri mu
Untuk menerima aku memilihnya

Aku tak’kan pernah melupakan ketulusan
Dan kebesaran jiwa sayatan hati mu
Karena menerima aku untuk segantang bercinta
Dengan wanita yang tak pernah diri mu duga

Kupersembahkan sujud maaf
Diujung kaki mu yang memijak kebahagian kita dulu
Aku hanya mampu berharap kalau Kau
Tetap ingat dari kehidupanku
Diantara kepedihan pada saat itu

Maaf bila aku memilihnya…


Pekanbaru, 09 Januari 2005


Ungkapkan Cinta Kediri Ini

Pernah dulu rupawan kuharap untuk dimiliki
Kini sudah luluh bukan lagi rupawan yang harus dimiliki
Semenjak kenangan itu, aku bukan lagi laki-laki yang diingini

Aku hanya berharap ada rupawan kediri ini
Yang mampu mengerti,
Mampu bercinta,
Mampu bertahan lama,
Mampu mencahayakan,
Mampu memiliki,
Mampu menyukai sepi,
Mampu tanpa menyanyikan lagu lama,
Dan mampu mengungkapkan cinta

Aku terus tidak mencari,
walaupun ungkapan itu hanya pada engkau (perempuan)

Pekanbaru, 02 November 2004


Aku Takkan Kehilangan-Mu

Aku selalu ingat ketika kita bercinta sambil membaca puisi
Yang sudah aku buat beberapa bulan yang lalu
Pada saat itu aku genggam tanganmu
Dan kau balas genggaman itu dengan hatimu yang tulus

Aku selalu ingat ketika kita bercinta diatas paduan kendaraan pujaanku
Yang telah kita telesuri hampir setengah tahun ini
Aku jalani arah kita dan kau pinta untuk ulangi lagi

Aku juga tetap ingat
Pada saat kita bercanda dan saling menertawakan
Yang aku ingat canda dan tawa itu sudah diawali sejak 11 Januari
Kadang-kadang canda dan tawanya kita kau iringi dengan tangismu

Aku masih ingat
Pada saat aku beri sehelai baju berwarna biru
Dan kau gembira menerimanya
Seminggu setelah kau gembira menerimanya
Aku menangis mengingat kita bercinta diatas paduan kendaraanku,
Membaca puisi,
Bercanda dan menertawakan kita

Aku hanya mampu ungkapkan : “Kuharap dengan cita-citaku untuk membahagiakanmu, seiring ketulusanmu dengan cita-citaku”

“Tolong bahagiakan aku, seperti cita-citaku dulu”

Pekanbaru, 23 Juni 2005


Badai itu Pasti Tak Berlalu
(Saat gempa bumi dan gelombang stunami pada tanggal 26 Desember 2004. Dibaca pada saat Pasar Seni DKR bersama Husnu Abadi tanggal 30 Juli 2005)

I
Pada saat bumi tergulung oleh gelombang
Lalu aku termenung dan menganggap
Bertapa lembutnya kekuasaan Tuhan pada saat itu

Sunyi bukan lagi ada ditengah malam
Terik matahari tidak lagi pernah menerpa serambi
Dan badai-badai yang singgah sejenak
Aku terpikir kalau badai itu tidak akan pernah berlalu

Aku melihat kekuasaan-Mu Tuhan
Pada saat aku tangisi ratusan ribu jiwa yang Kau ambil
Dan berharap untuk bertekuk lutut kehadapan-Mu

II
Sang badai yang sekejap menggelar
Mampu hidupkan kematian diatas kota dan desa bersejarah
Lalu mematikan kesunyian dan menguburkan semua alam

Serpihan kaca, batu, tumbangnya pepohonan, ratanya rumah
Juga mampu mengalahkan runtuhnya harapan,
matinya jiwa,
Hilangnya cita-cita,
Anak-anak kehilangan bapak ibunya,
Kemudian menjadi yatim-piatu

Bapak ibu mencari anak-anaknya
Kemudian menjadi kehilangan yang tak pernah terbilang
Bersama harta

Sudah punah kecintaan dahulu
Seorang anak merintih:
“aku kehilangan cita-citaku untuk bhaktiku kepada orang tua,
sekolah,
bangsa,
kecuali kepada agama,
ya…, aku telah kehilangan semua harapan itu…”

Anak-anak hanya mampu berharap kepada puing-puing yang berserakan
Agar keajaiban itu hanya sebuah mimpi buruknya
Bukan badai sebenarnya

Jiwanya mengarah pada khayalan
Bahwa badai-badai tak’kan pernah berlalu
Dirinya melihat badai itu pasti kembali
Menggulung bumi dengan dosa-dosa murka

Lalu keyakinan khayalan itu
Terlihat dan mengisyaratkan
Seakan-akan dirinya hidup pada saat ini
Akan diterpa gelombang dan tarikan ombak itu

Siapa lagi yang akan di sayat harapan Tuhan
Kita tinggal lagi menunggu untuk itu
Harapan Tuhan kembali kepada kita

III
Ampunkan aku Tuhan…
Aku sadari ada sebahagian dosa-dosa ku di badai itu
Aku yakin ada dosa-dosa saudara ku,
Sahabat ku,
Orang terdahulu,
Pimpinan ku,
Pengacau-Mu,
Dan Umat-Mu
Ditengah badai yang tak pernah berlalu itu

Aku telah menelusuri kenyataan ini
Ada badai dikemudian hari
Jika Kau tidak lagi pedulikan kami,
Dan jika kami Mendurhakai-Mu,
Menjauhkan-Mu,
Dan Rasul-Mu

Badai berpesan:
“Aku akan menjauhi makhluk Tuhan-ku…
Pada saat manusia menangisi dosanya
Dan aku akan menyayat makhluk Tuhan ku…
Pada saat manusia banyak tertawa dengan dosanya
Manusia…,
Tertawamu di muka bumi adalah tangismu di badaiku nanti
Tangismu di muka bumi adalah tertawamu di syurga nanti”


Apa Kata-Mu?
(Menyindir puisi Mantan Ketua BIN Hendropriyono saat pertemuan DPR dan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang hasilnya tak kesampaian. Dirinya kesal ketidakhadiran TPF pada saat itu (21/06/2005)

Puisi Hendro :

Jangan takabur dengan menganggap rendah seorang prajurit tua
Jangan lupakan pengorbanan dan sumbangsih orang-orang terdahulu
Bagi bangsa dan negaranya, tetapi perbaikilah sistem.

Hidup persatuan Indonesia yang besar!

Menjawab puisi Hendro :

“Menganggap rendah seorang prajurit tua”
adalah karena prajurit tua sudah binasa,
“Jangan takabur” kata prajurit tua
karena prajurit tua mengkabur-kabur.

“Jangan lupakan pengorbanan dan sumbangsih”
kata prajurit yang menganggap dirinya tua,
Yang muda tak pernah lupakan pengorbanan dan sumbangsih bagi para pahlawan terdahulu
Tetapi menganggapnya persoalan orang-orang terdahulu
Yang mengorbankan negara dan kemudian untuk memalukannya.

“Tetapi perbaikilah sistem” lagi-lagi kata prajurit tua,
“sistem yang mana?, karena semua sistem sudah di pake’?, jawab si muda.

Hidup prajurit tua!
Hidup persatuan Indonesia yang besa….rr, pembengak!

Pekanbaru, 22 Juli 2006


Kado Kuburan Buat Riau-Ku
(Bersempena HUT Riau ke-48 Tanggal 09 Agustus 2005)
Dibaca pada saat unjukrasa ratusan mahasiswa “Gerakan Mahasiswa Peduli Riau” di gedung DPRD Riau peringatah HUT Riau ke-48

Sampai saat ini
Aku belum pernah menemukan cita-cita negeriku
Dan cita-citaku dahulu untuk keabadianku

Aku belum menekukan harapan dia
Saat anugerahnya mulai menggelimang dan telah tercium orang-orang awam
Untuk secerca harapannya yang sejajar dengan air mata dari tahun ketahun

Aku belum menemukan keinginanku dahulu
Pada saat setahun lalu kubuat puisi untukmu
Ya…kaulah…Riau !!
Kado kuburan buatmu Riau!

Aku masih ingat pada saat kado yang kuberikan setahun lalu
Ya…aku masih ingat harapan itu berupa setumpuk onggok kuburan
Yang bernisankan kayu tua, lebih tua kuburan yang ada di sekitarnya

Oh…! Sampai kapan ketuaan itu
mulai memudarkan keindahanya dari nisan-nisan yang ada disekitarnya
Akankah hingga sepuluh tahun!
seratus tahun!
Ataupun…seribu tahun lagi!

Aku akan tetap menunggumu Riau
Sampai terus aku titipkan warisan nisan buat anak dan cucuku
Untuk sebuah harapan perbaiki kuburan lama itu
Apabila anak cucuku juga tak mampu amanahkan
Untuk memberikan nisan tua itu
Arwahku bersama-sama orang-orang tertindasku
Akan membawa nisan tua itu kepada Riau ku
Yang saat ini belum aku temukan kejayaanya….

Selamat Ulang Tahun Riau Riuh!!

Pekanbaru, 03 Agustus 2005


Negeri LancangKu Ada di Sebelah Utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Penantian rembulan tak pernah terhenti
Sedangkan matahari terus bercahaya terangkan kegalauan
Penantian lama rembulan itu yang menjadikan dia berkecamuk
Dia iri dengan pancaran matahari itu
Karena dia melihat sinarnya hanya menerangi kegalauan sebelah utara
Dia terus menelusuri
Diamana kegagahan itu dia dapati
Padahal dia hidup sejuta tahun dahulu dari pada matahari itu

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Rembulan terus mencari bederang kegalauan matahari
Dan sampai rembulan temukan itu
Hanya setitik mata hati ditemukannya
Padahal mata hati itu sudah dimilikinya sejuta tahun yang lalu
Rembulannya semakin tidak mampu berderang
Pada saat rembulan menemukan Lancangku di sebelah utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Jantung rembulan berdetak gelegar
Bukan saja menemukan apa yang ditelusuri
Rembulan menemukan banyak sosok bangkai yang berbelatungan
Banyak harta-harta orang miskin tertimbun
Segumpal darah yang sudah lama membeku
Akibat tebalnya rona-rona bencana di Negeri LancangKu

Rembulan itu hanya mengambil secarik kertas dari Negeri LancangKu
Dan dibawanya ke peraduan rembulan dimana sejuta tahun lalu ia bersemayam
Ada titip pesan dari Negeri Lancangku
Kalau di Negeri Lancangku akan ada sinar kegalauan matahari yang sangat terik
Dan semua pecinta rembulan akan sirna dengan kegalauan sinar itu

Negeri LancangKu ada di sebelah utara,
Rembulan menangis...
Dirinya merasa berhutang pabila pesan itu tidak diamanahkan
Rembulan menangis...
Dirinya merasa berdosa pabila pesaan itu disampaikan
Bencana akan tiba....di Negeri LancangKu
Rembulan mengajak anak-anak sinar rembulan
Untuk meratap keindahan yang ada di Negeri Utara
Pantas LancangKu ada di Negeri Utara

Negeri LancangKu ada di sebelah utara
Kegembiraan rembulan dan anak-anak sinar rembulan
Kalahkan gelegarnya harapan matahari
Matahari terus jadi dirinya
Dan rembulan terus mencari jati dirinya agar Negeri LancangKu
Bisa terpasung di sebelah utara
Dan bermukim meratap kesengsaraan LancangKu

Pekanbaru, 10 September 2005


Anak Kucing Hitam yang Terbuang

Sudah dua kali aku melewati jalan itu
Dua kali itu pula aku tertoleh kearah tengah jalan
Melihat seekor anak kucing hitam yang terbuang oleh induknya

Dia tidak pedulikan aku
Padahal aku idahkan dia
Dia tidak memperdulikan setiap orang yang mengusiknya
agar bertepi dari jalan itu

“Hus..!, Hus..!.
Hei anak kucing pinggir, nanti kau terlanggar”

Kutatap mukannya penuh dengan kotoran
Tatapannyapun penuh kekosongan
Seakan-akan dalam pikirnya :
“Apa guna hidupku, kalau aku harus ditinggalkan oleh pengasuhku.
Aku terbuang oleh kesenangan seperti anak-anak kucing lainnya.
Biarlah aku mati, hiduppun aku tak berguna
Kalau aku bukan lagi dihiraukan”.

Hari pertama itu yang aku temukan
Kesengsaraan seekor anak kucing hitam yang terbuang

Tujuh hari setelah itu
Aku kembali menemukan
Kesengsaraan anak kucing hitam yang terbuang itu
Sikapnya tak ubah seperti tujuh hari yang lalu
Mukanya yang kotor, terdiam,
Tatapan matanya yang kosong,
Dan bayangan dalam hati untuk memilih mati saja

Aku tak ambil diam
Aku cekik tengkuk lehernya
Dan membawa anak kucing hitam terbuang itu
Ketempat yang lebih aman

“Meong..., meong..., meong...”
Seakan-akan dirinya tidak mempercayakan aku
Kalau aku akan menolongnya
Atau...,
Dirinya meminta agar kesengsaraanya
Lebih dirasakan pada tempat yang aku lihat awal tadi

Dia ku bawa tidak jauh dari tempat dimana dirinya merenung
Ketempat yang kuanggap lebih aman
Kuletakkan anak kucing hitam itu dengan mesra
Kuperhatikan sejenak tingkah-lakunya
Aku melihat anak kucing hitam itu
Tak kuasa menerima kepindahannya
“Ia..., mungkin dia lebih memilih tempat dimana nyawanya terancam”

Posisi itulah yang dirasakan anak-anak negeriku
Yang selalu menari oleh kesengsaraan
Dan jerihnya selalu jadi kodratnya
Di pinggiran dan perempatan jalan
Jeritannya sudah menjadi kebiasaan pekaknya si pemerhati
Maafkan aku bila aku menyamakanmu anak-anak negeriku
Sama dengan kesengsaraan anak kucing hitam yang terbuang itu
Tapi aku tetap rasakan kepedihan
Antara kucing hitam dan anak-anak negeriku
Biar aku ceritakan nanti kepada nahkoda negeriku
Kalau telah terbuang dengan sia-sia harapan generasi kucing
Dan harapan negeriku kelak

Pekanbaru malam, 03 September 2005


Dosa Bali
(Sekelumit mengenang tragedi bom yang kedua kalinya di Bali pada hari Sabtu, 1 Oktober 2005 di Jimbaran – tepatnya di Cafe Menega pukul 19.20 Wita/18.20 Wib, dan Kuta Town Squere – tepatnya di Raja’s Bar and Restaurant-Kuta sekitar pukul 19.42 Wita/18.42 Wib. Sedikitnya 22 orang tewas. Sebelumnya bom sempat mengguncang Bali 12 Oktober 2002)

Ketika aku merasakan ada dosa
Aku serasa di Bali
Ketika aku melupakan Tuhan yang ada
Aku serasa di Bali
Dan ketika aku merasakan dosa dan melupakan Tuhan yang ada
Aku serasa terhempas oleh serpihan Bali

Akh!
Hanya berdosa dan melupakan Tuhan
Semua orang terejam

Pada saat tu semua orang bercerita tentang dongeng
Dan pada saat itu pula Bali bercerita tentang penderitaan
Persis di sela-sela baku hantam

Bukan harus melupakan Bali untuk meninggalkan dosa
Hanya Bali yang mampu mengingakan aku kepada Tuhan yang ada
Dialah dosa
Dan dialah murka

Pekanbaru, 03 Oktober 2005


Bali Kembali Bercita
(Sekelumit mengenang tragedi bom yang kedua kalinya di Bali pada hari Sabtu, 1 Oktober 2005 di Jimbaran – tepatnya di Cafe Menega pukul 19.20 Wita/18.20 Wib, dan Kuta Town Squere – tepatnya di Raja’s Bar and Restaurant-Kuta sekitar pukul 19.42 Wita/18.42 Wib. Sedikitnya 22 orang tewas. Sebelumnya bom sempat mengguncang Bali 12 Oktober 2002)

I
12 Oktober 2002,
Pada saat itu kejayaan ada pada Bali
Dan ada kelupaan yang menerona
Awan-awan hitam nenangisi Kuta
Batu-batu kerikil masuk ke hati hingga ke jiwa
Lalu hinggaplah kepedihan
Pada akhirnya rupa poranda

12 Oktober 2002-an,
Bercecerlah darah, badan bergelimpangan,
Muka sejajar dengan emperan,
Pepohonan dan pasir menjadi saksi harapan
Pada batu dan lempengan yang menjadi saksi
Ketika semua menjadi serpihan

Masih 12 Oktober 2002-an,
Laut menjadi heran
Karena mataharinya telah hilang
Surga yang ada tinggal buta
Dan buta tinggal meraba

II
Ketika 01 Oktober 2005,
Buta kembali meraba
Tidak akan pernah ada surga di Kuta
Dan kembali batu-batu kerikil yang ada
Masuk ke hati hingga ke jiwa
Sehingga bukan saja kepedihan memporandakan
Tetapi hanya tinggal 12 Oktober 2002

Masih 01 Oktober 2005,
Kuta Bali masih menuangkan cita
Untuk harapan ketika penuaan
Kembali Bali sakralkan pujaan
Agar surga tidak ada pada serpihan

Tinggal lagi Bali menunggu dia
Ya..., Oktober 2006 2007

Pekanbaru, 03 Oktober 2005



PUISI 2006


Sunyi di Atas Bentangan Air
Buat Alna Karymunika
(Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006)

Merajut di antara kelam yang meronta
Salah pijak langkah-langkah daun kering
Yang hidup di tepi riaknya air berbentang
Kulayangkan lamunanku ke arah mata hati air
Dan aku terkejut melihat tanah-tanah
Yang bercumbu dengan beriaknya kekeruhan

Di tanah yang bercumbu dengan kekeruhan itu
Tempat aku bimbang dengan jala yang ada di hatimu
Hikayat-hikayatlah yang dapat memandang kesunyian itu
Agar kesunyian terbentang diantara pelipur lara
Bukan dongeng-dongeng kuno
Kelak menjadi bunga layu oleh teriknya hati

Tengah malam di sejengkal pandang
Perlahan-lahan jatuh rimba
Dan menjadi cerita berita di siang yang panjang
Hingga berakhir menyingsing sunset
Rantinglah menjadi saksi hingga fajar meraung
Dan akhirnya terlampaui

Tinggallah cerita malang, lalu terbang
Ke arah langit untuk dikabari
Ke bentangan air yang bertepi
Hingga mendung bercumbu dengan pelangi
Dan burung berlari dengan sayapnya hingga tinggi
Seperti lamunan sunyi ke senja kala

Pekanbaru, 03 Januari 2006


Tepian yang Bernyawa

Bila suatu jika…
Iftitah lalu mata menghadap imaji petaka,
Sudah saatnya sampai ke batu-batu yang panas
Awan-awan yang hanya tinggal pasrah
Dan sesajian berubah menjadi kematian
Jika pudar mata bukan lagi untuk membaca firman

Bila suatu jika…
Ruku’ terpatah dan jemari menggenggam lutut
Untuk mengingat naluri agar terlupakan kesunyian yang gelap
Dan hati yang mati sudah menghadap fajar
Untuk bisa saling membagi bahagian infaq

Bila suatu jika…
I’tidal lurus bak alif yang menjulang
Kembali menaluri qalam-qalam Illahi
Sehingga memudar lorong batu
Yang kerap dihinggapi dedauan kering
Supaya qona’ah dan tidak ragu untuk bersyukur

Bila suatu jika…
Sujud mengalahkan segala harga mati
Untuk mencium kembali jannah yang ada di sajadah
Selalu air mata hinggap menjadi hujan bandang
Agar bisa menjadi bahagian dari-Nya

Bila suatu jika
Aku berada di tepian yang bernyawa
Agar bertawakal dan bersumpah menjadi khalifah
Dan kembali bersujud
Untuk menjadi sebenar-benarnya manusia yang beribadah

Pekanbaru, 28 Februari 2006


Serasa Hatiku Kembali Memanggil

Di 11 Januari itulah,
Awan dan kelam
Memuji sunyi yang ada di setiap degupan
Dekit jam dan menunggu datangnya khayalan
Yang selalu ada di kedua mata titik klimaks-mu
Pada saat itu pula
Hewan-hewan alam ikut bertepuk tangan
Riang melihat tangisan-mu
Ketika kabar burung
Penantian-mu ada disisi cinta harapan dahulu

Di 11 Januari itulah,
Aku dahulu yang memulai keinginan kunang-kunang
Dan bulan di hari sesaat kau terkejut melihat murkanya bumi
Ada pepohonan tanpa ranting,
Ada angin senyap, dan ada pula air mata-mu
Di kegelapan puing-puing cinta-mu

Di 11 Januari itulah,
Aku merasa kali pertama ada di 11 Januari
Padahal ada kunang-kunang dan bulan yang lebih berderang
Menerpa pepohonan hingga tertariknya akar-akar

Hingga di 11 Januari itulah,
Awan,
Kelam,
Hewan -hewan alam,
Kunang-kunang,
Bulan,
Pepohonan tanpa ranting,
Angin senyap,
Penantian,
Air mata tangisan, lalu...
Aku dan cinta,
Ikut menyapa-mu :
Kembalilah kau menangis
Agar aku ikut jua menyapa-mu
Dan aku kembali memanggil cinta
Selamat ulang tahun carpricorn-ku.

Pekanbaru, 11 Januari 2006


Babak Baru dalam Kematian
(Dimuat pada SKH Riau Mandiri, Ahad, 30 April 2006)

Memelas dahaga mencurahkan belantara
Siang dan malam berubah menjadi angin
Yang berhembus tanpa beraturan
Lalu mengalir bagai air tanpa menemukan hulu
Dia terus mencari arah agar babak baru dia temukan
Berharap pulang ke peraduan
Hanya tinggal sehelai rambut
Dan secarik daun kering tak bertulang

Nafasnya sudah menemukan rongga
Dan terisak bagai belulang dikerumuni lalat
Hanya mampu meneteskan darah dan rona
Berlapang-lapang untuk bersemanyam
Dia menangis
Dia merunduk noda
Dia teringat
Dia merangkak
Dia luluh
Dia teriak
Dan dia hidup tinggal satu atap bersama petaka

Pekanbaru, (17.08 WIB), 22 Maret 2006-03-22


Bersanding Lara

Duduk diantara dua duka
Yang di tengah ada lara
Bercumbu dengan mata
Di tengahnya ada cahaya
Meradu di atas kepala
Di tepinya ada rona-rona
Berharap minta pahala
Di ujungnya ada neraka

Buka mata pada malam buta
Di siangnya enggan berjumpa
Harap-harap untuk dahaga
Di atas dada ada terbuka
Minta-minta agar ternoda
Memar di tengah kepala

Pekanbaru, (17.15 WIB) 22 Maret 2006


Kisah-kisah Wajah Lumut
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Di tepi jalan protokol
Anak-anak itulah yang menjajal
Dia berteriak sambil menepukkan kedua telapak tangannya
Sehingga pori-porinya menangis
Dan menatap kaca buram yang di dalamnya orang buta

Di atas jembatan tua itu
Ibu-ibu menggendongkan anaknya
Yang saban hari lukanya bak ingus
Menadah tangan arah langit
Dan pangkuan ibu terkencing si anak ingusan
Sehingga orang-orang hanya melihat kelumpuhan tubuhnya

Di persimpangan Sudirman
Bapak-bapak tua bersama tongkat kayu luluh
Mengejar dimasing-masing kendaraan
Dan sesekali terkelincir jatuh
Agar dia jumpa dermawan bebal
Dan lagi-lagi dia hanya berbalas muka yang patah

Di perkantoran balai kota itu
Mereka semua digumpulkan
Agar berbalik memelas

Pekanbaru, (16.20 WIB) 23 Maret 2006


Menunggu Jawaban dari Presiden
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Setahun yang lalu seorang guru menyurati presiden
Secarik kertas folio yang diambil dari kantornya
Sehingga dia harus bergegas menulis
Karena dia menganggap seorang pahlawan
Yang harus berjuang untuk ribuan guru lainnya

Seminggu,
Dua minggu, tiga minggu,
Empat minggu, lima minggu, enam minggu,
Guru menanti balasan surat itu
Alamat presiden belum terbalas di rumahnya
Sehinga was-was ada di setiap benaknya
“Apakah dia menjawab surat itu?
Atau presiden enggan menjawab
Karena cobaan itu harus diterima guru!

Guru kembali menulis surat
Yang isinya tidak berbeda dengan surat enam minggu lalu

Satu bulan,
Dua bulan, tiga bulan,
Empat bulan, lima bulan, enam bulan,
Guru itu tetap menanti balasan surat dari presiden
Hanya menunggu secarik saja guru itu rela usap dada
Dan kembali terus menunggu

Kembali guru mengambil kertas folio dari kantornya
Dan kembali menulis surat
Yang isinya lebih memelas dari surat terdaulu

Satu tahun,
Dua tahun, tiga tahun,
Empat tahun, lima tahun, enam tahun,
Guru malang itu menanti balasan surat dari presiden
Di dalam terali besi sambil menangis
Karena terbukti mencuri dua lembar kertas aset negara

Pekanbaru, (16.45 WIB), 23 Maret 2006


Puisi Karangan Anak Yatim
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Dari ujung pandang matanya
Ada kelopak senja yang merah menanti
Sudah berulang ganti menyala
Beriak hingga wewangian hinggap
Di dedauan tanpa ranting

Pagi hingga pagi lagi
Burung-burung tak berkicau sebagaimana hatinya
Sembilu menjamah lukanya
Dan menyisakan rasa gulana
Bermohon dan merayu agar kembali merana
Dan ulamkan kesucian menautkan hatinya dulu

“Kasihanilah atas duka kini dan duka yang akan tiba!!”

Pekanbaru, (17.13 WIB) 23 Maret 2006


Bertumbuk dengan Canda
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Dia menyingsing
Aku melompat
Dia melenggang
Aku menyingkir
Dia mencambuk
Aku membalas
Dia berlari
Aku mengejar
Dia terlentang
Aku menerkam
Dia marah
Aku diam

Pekanbaru, (14. 45 WIB) 31 Maret 2006


Ada Malam di Musim Salju
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Paginya,
Kemuning mengebus di tenggara waktu
Hingga menyingsing menyisakan waktu di tengah hari
Porak-poranda oleh kegirangan lagu karangan laut
Hingga resah mengenang nasib burung walet

Siangnya,
Dingin hingga membeku dan berubah menjadi batu
Dan tersohor hingga ke pelupuk musim
Dan pada akhirya sungai dari hulu ke hilir
Dan kembali ke pertemuan selat
Lalu awan berubah menjadi kapas
Dan terbang terbawa oleh resah

Sorenya,
Petang menjemput lagu karangan laut
Hingga menuju mata air yang luluh oleh teriknya salju
Dan mengubahkan perjalanan itu seperti terombang-ambing
Dan berujung pada perahu terombang-ambing pula

Malamnya,
Pagi sudah dijemput oleh penggawa-penggawa
Kerajaan musim salju
Hingga mengubah negerinya menjadi
Negeri malam di musim salju

Pekanbaru, (15. 00 WIB) 31 Maret 2006


Matinya Anak Bumi Ditelan Mummi
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Burung camar hinggap di atas bathinku
Bukan merayu dahannya yang patah
Akibat burung cicit yang hinggap di dedaunan
Lalu merobahkan niatnya agar berbicara pada Tuhan
Untuk memohon agar tempat tinggal hidupnya
Menjadi arang yang putih...

Dia terus bernyanyi di perairan yang tenang
Dan sesekali mengepakkan sayapnya
Lalu kembali bernyanyi
Mengajak burung-burung ilalang
Untuk terbang bersama dan sambil mencaci maki

Dalam hidupnya yang penuh sengsara
Bumi dan awan-awan sudah menjadi singgahan pasti
Tetapi mati oleh mummi yang terus bernyani
Gelora dan mara adalah teman sejawadnya
Untuk melangkah dan merenangi sungai-sungai tenang yang mati

Mummi menjadi saksi kematian burung dan sungai
Dan bumi menjadi rakus untuk mengutuk dirinya
Menjadi belahan-belahan dan keping-kepingan
Batu sudah menjadi rapuh...
Pasir sudah menjadi luluh bagaikan lendir...
Kayu sudah menjadi serpihan...
Besi sudah merubah wujud menjadi rumput...
Lalu gunung terbang-terbang...
Dan kembali terbang bagaikan kapas di awan
Dan... berakhir pada penderitaan.

Pekanbaru, (14.30 WIB)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Bumi dan Langit Ada di Kaki Bukit
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Bumi...
Langii..t...
Menjerit...

Bumi...
Langii..t...
Mengigit...

Bumi...
Langii..t...
terjepii..t...

Bumi...
Langii..t...
Sembelit...

Bumi...
Langii..t...
Mencubii..t...

Bumi...
Langii..t...
Tersulii..t...

Bumi...
Langii..t...
Terkurit-kurit...

Bumi...
Langii..t...
Ada di kaki bukit...

Bumi...
Langii..t...
Terbirit-birit

Bumi...
Langii..t...
Ada..di..burit...??


Pekanbaru, (14.45 WIB)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


H-U-T-A-N
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)


Hutan...
Habis dibabat menjadi keringat
Dan mensulap menjadi biadab

Utan...
Ungkapan rupa merubah nyawa menjadi batu-batu
Berkahir pada muka berkutu dan menjadi manusia terkutuk

Tan...
Tanpa rasa kasihmu raut berdaya mengubah duka
Menatap dasar kerak poros alam yang tak berujung

An...
Anak-anak bertanya dan menangis
Meminta nyawanya dikembalikan
Dan kembali bermain di air yang Tuhan berikan

N...
Nuranimu kami tanyakan
Dan meminta jiwamu untuk kami pasung
Agar terjilat oleh belatung-belatung
Dan menjadi nyawa yang berbangkai
Lalu hina di muka Tuhan

Pekanbaru, (15.02 Wib)15 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Perkataan Tuhan
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Zhoharal fasaadu fillbarri walbahri
Bimaa kasabat aidinnaasi liyudziiqohum
Ba’dholladzii ‘amiluu la’allahum yarji’uun...

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
Disebabkan oleh perbuatan tangan manusia
Supaya Allah merasakan kepada mereka
Sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka
Agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Shodaqallahu

Perkataan Tuhan itu yang menjadi peringatan bagimu
Sehingga durjana dan bencana bagi kita
Dan kembali kepada-Nya

Surga dahulu sudah tak ubahnya seperti muram durjana
Dan murka sahaja sehinga mati bersama

Perkataan itu juga telah menjadi perkataan suci
Yang sedari dahulu ada pada Rasul
Dan manusia ada hanya untuk kembali kepada-Nya
Bukan menjadi manusia yang sesungguhnya

Maka daripada ini,
Jadillah engkau segenap binatang liar
Agar Tuhan tidak mengukurmu pada kelak yang kekal
Akibat bumi dan laut milik Tuhan
Sudah tergenggam oleh tangan-tangan yang berlumur oleh lumpur
Lalu berkhatam menjadi kubur

Selamatkan yang masih ada...
Dan yang akan tiada...

Innaalillahi wa’inna illaahiraaji’uun

Pekanbaru, (15.35 WIB) 17 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April
Ayat diangkat dari QS: 30 (Ar-Ruum-Bangsa Rumawi) ayat 41


Antara Bumi dan Pelacur
(Dibaca pada saat peringatan Hari Bumi 22 April 2006 yang diselenggarakan oleh Walhi Riau di Purna MTQ Pekanbaru)

Dia dijajal?!
Dan aku juga dijajal?!

Dia diraba?!
Dan aku juga merasakan diraba?!

Dia dicium?!
Aku juga dicium?!

Dia dicungkil?!
Aku juga ikut dicungkil?!

Dia dijilat?!
Dan aku juga dijilat?!

Dia disetubuhi?!
Dan aku juga ikut disetubuhi?!

Dia disodomi?!
Dan aku juga disodomi?!

Aku dipopoh?!
Dan aku juga ikut dipopoh?!

Dia merintih?!
Aku juga sama merintih?!

Dia ditembak?!
Dan ternyata aku juga ditembak?!

Ternyata...
Sama saja antara aku dan dia
Ya.. antara bumi dan aku seorang pelacur!!

Pekanbaru, (15.55 Wib) 17 April 2006
Memperingati Hari Bumi 22 April


Abstraksi Tuhan
(Dimuat dalam SKH Metro Riau, Minggu, 7 Mei 2006)

Derap melangkah
Dan ayunkan tangan
Sambil menujuk nurani
Aku berjalan ke sebuah tali
Yang di tengahnya telah dibelah menjadi tujuh
Lalu disulap menjadi tali tambang yang sangat tebal
Sehingga aku bersenggayut
Dan mengayunkan kakiku di atas asap-asap
Dan bebatuan tajam
Yang dialiri sungai merah bening
Dan ada anak-anak ikan tanpa duri
Jelang itu burung-burung mencicit kelaparan

Ternyata aku terbangun
Dan ada yang membisikkan aku
Kalau aku harus menjadi makhluk
Yang punggungnya patah

Pekanbaru, (16.05 WIB) 17 April 2006


Ada Perempuan di Sungai Jannah
(Dimuat pada jurnal PuanRi edisi perdana bulan Juni 2006)

Kerudung yang membulan-bulani pori-porinya
Sudah teraliri embun sehati dan menjadi tebing
Yang dapat melintasi marwah muka dan surga
Berbagai pintu yang menantinya
Dan tidak ada satupun celah yang luput menjadi persinggahan
Agar kelak mengubah binatang melata
Menjadi ginjang yang terbang bersama kupu-kupu bersayap putih

Sudah menjadi catatan Dia
Agar engkau-engkau ada bahagian sisi Diri-Nya
Dan sudah menjadi penetapan yang abadi pada kaki-tanganmu
Supaya sekucur tubuh dan bahasamu
Menjadi ikrar dan keutuhan

Engkau-engkau…
Itulah bagi perempuan
Dan langit beserta bintang menjadi wali
Untuk engkau-engkau disegera terbang bersama kerudung
Yang membulan-bulani pori-porinya
Pada akhirnya…
Kesungguhan itu menjadi cita dan duka
Ya…
Cita untuk harapan dan duka untuk tangisan riang.

Pekanbaru, (17.08 WIB), 11 Mei 2006


I-S-L-A-M
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)

Indahnya kelak aku berpulang
Ketika bumi berubah menjadi debu-debu
Dan debu itu mengantarkan aku kepada-Nya
Untuk kembali melihat janji-janji pada mi’raj

Subhanallah…
Aku melihat janji-janji itu
Benar kalau Dia memang penepat janji
Ada sungai susu,
Ada pohon yang akarnya di awang-awang,
Dan bahkan ada bidadari-bidadari yang terus perawan

Lambaian-lambaian manusia
Mukanya yang bercahaya terus memanggil aku
Seakan-akan mengajakku untuk minum,
Makan dan bersenang-senang menghabiskan waktu
Untuk melupakan bumi yang sudah menjadi debu
Dan kembali kepada yang kekal

Astagfirullah…
Akankah aku menjadi bahagian dari ciptaan-Mu
Padahal aku sudah mendustai-Mu
Aku ingin ada dalam keramaian itu

Murka ragaku
Pada saat aku menjadi bahagian itu
Tapi aku sadari
Kalau Kau mampu mengasihiku
Sehingga duniaku penuh dengan hadist-hadist

Pekanbaru, 7 Maret 2006


Mimpi Berjumpa Nabi
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)


Persis di bulan Dzulhijjah
Tepatnya hari Ahad,
Aku terbangun pada pukul 02.47 Wib
Dan ternyata aku berjumpa dengan Nabi
Dalam mimpi ini
Dia tersenyum seiring dengan tarian daun-daun
Lalu angin membawa debu-debu
Ke arah belakang badanku

Aku masih ingat cerita guru ngajiku :
Kalau Nabi serupa seperti dalam tidurku itu
Wajahnya bercahaya, tawanya sesuai kadarnya
Dan tingkahnya ada di kepolosan kapas-kapas

Nabi dalam bunga tidurku itu
Menitip pesan padaku :
Agar aku menjaga diriku
Dari berubahnya siang dan malam
Dan Nabi dalam kesungguhan tidurku itu
Juga menitip pedang tajam padaku
Yang di ujung pedang itu
Bertuliskan : Qu-dist

Kaliputih, (20.47 WIB) 7 Maret 2006


Dulu Kamboja, Sekarang Putrimalu
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 29 Juli 2006)

Petang dahulu,
Dia dan aku sejajar
Pada saat aku dan dia meniup batu karang
Yang ada di tegah selat laut
Lalu aku dan dia menjadi pahlawan
Persis di tengah pulau tanpa pepohonan itu
Anehnya aku dan dia saling berperang
Saling memidik, saling mencari sela
Agar diantara aku dan dia
Menyerah di tengah pulau itu
Yang sebentar lagi akan gelap

Masih di tengah pulau itu
Dia tetap mencari arah yang tepat
Agar aku menjadi kamboja
Lalu akan ditaburkan olehnya
Di atas gundukan tanah berlumpur

Sehingga pada saat detik-detik musim semi
Kilat menyambar hati kami berdua
Dan merubahkan wujud aku dan dia
Seperti domba yang patah tanduknya

Ternyata...
Akhirnya aku dan dia mati
Dan pada akhirnya
Aku dan dia menjadi bunga putrimalu
Yang tak berani menatap wajah kami yang lugu

Kaliputih, (20.25 WIB) 7 Maret 2006


Pesan Buat Tuhan
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Hitam yang membiru
Di muka mata telinga mengubah butiran pasir
Yang menanamkan ke tenggelam rawa
Sama rasa dengan empedu

Didalam ia menjerit kesedihan
Di liang itu ia juga meminta kepada Tuhan
Agar mengembalikan apa yang ada di dalam perutnya
Yang dipenuhi oleh cacing-cacing hingga semua binatang melata

Ke ranjang terakhir itu matanya sudah tidak setajam heningnya
Lalu tetap saja menjadi butiran
Dan menjadi arang

: Katakan kepada Tuhan kalau aku sudah datang menghadapnya!
: Tidak perlu kau titip pesan itu kepadaku,
karena Tuhan sudah ada di hadapan mu
untuk menikam mu hingga kau meminta jera
: Bukan itu yang ku harap,
Karena Tuhan sudah memberikan nasib kepada ku
Kalau aku akan diberikannya ke tempat yang layak
: Layakmu adalah tempat kematian bersama kafir
: Bukan! Tuhan tidak akan mensandingkan aku dengan kemunafikan
Tetapi menyandingkan aku dengan orang-orang musafir
: Ya! Kafir itu adalah kau! Pesan apa yang akan kau sampaikan kepada Tuhan?
: Sampaikan pesanku kepada Tuhan,
Kalau aku mau sujud yang terakhir kalinya!

Jogyakarta, 18 April 2006


Suguhan Rembulan
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Bayangannya menari di tegah cahaya
Merubah seluruh keindahan zamrud khatulistiwa
Sehingga dengan sekejap menjadi bebatuan
Tari-tarian karya alam itu
Meneriakkan kesunyian di tengah kerumunan kunang-kunang
Lalu saling berganti, bergetar, dan bersayap

Satu abad dia mengukir cahaya
Dan di abad yang kedua dia tidak lagi mampu menari
Karena kehilangan cahaya rembulan yang ditelan oleh kapas
Perjalanan itu hingga mengakhiri keperawanan yang layu
Dan akar-akarnya sudah menjulur ke lubang kelam

Satu masa terkahir
Rembulan merasa bosan
Karena tidak ada yang menemani
Dan zamrud khatulistiwa tetap pada pendiriannya
Untuk menjadi bebatuan
Dan tari-tarian hanya ada pada kegelapan
Sehingga bayangannya luluh oleh cahaya

Jogyakarta, 18 April 2006


Sejuta Kembang
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Sudah mendekap wanginya ke lubuk senja
Harinya setiap malam diguyur oleh hujan
Yang airnya adalah kembang dan wewangian
Di perempatan malam,
Gemerlap menjelma menjadi batang yang kokoh
dan akan lapuk ketika hujan jatuhi kembang-kembang

Wanginya berterbangan bersama duri dari jari
Sewaktu itu adalah hari yang sah menurut penyair malam
Diantara sejuta, hanya satu kembang yang ku kenang
Dia ada di perempatan malam
Di seberang sejuta kembang

Bandung, 18 April 2006


Aku Terbang Bersama Hayal
(Dimuat di SKH Riau Mandiri, Ahad, 28 Januari 2007)

Aku bermimpi kalau aku telah hidup bermasa kasturi
Kasturi itu adalah dia yang pernah aku jumpai setahun enam bulan yang lalu
Dia aku juluki Munika
Dalam mimpi itu aku dipanggilnya dari kejauhan
Aku hanya berteriak riang :
“Hei! Engkaukah itu kasturi”
Dia berlari hingga hilang mengucup di tengah asap putih tebal
Seakan-akan aku diajaknya hilang untuk terbang bersamanya

Setengah ku kedipkan mataku
Dia kembali menyapaku
Dan dia ada di belakangku
Ternyata benar kalau kasturi itu adalah Munik
Yang wanginya sudah aku rasakan pada saat aku masih di rahim

Mampukah aku memilikinya?
Walaupun hanya terbang bersama hayal!

Bandung, 19 April 2006


Alna yang Bimbang
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Dia bukan ada di dirimu
Dan dirimu tidak selalu ada di hatinya
Tetapi salahkah aku untuk menjadikan dirimu
Seorang kupu-kupu malang oleh kenyataan
Yang tenggelam oleh malam dan bernyanyi pada saat senja
Tetapi aku belum merasakan pilunya hati bulan
Karena kayu-kayu yang selalu mengeluarkan gentahnya
Sudah menjadi beku karena hari dah menjadi malang

Tapi lupakan dia
Karena dia sudah menjadi getah yang beku
Bukan karena hari yang dah senja
Tapi karena malam
Yang tidak akan pernah menyalami pagi

Kau tidak perlu risau dengan hari-hari itu
Untukku yakinkan pada pilumu tadi
Bahwasanya ada hari-hari yang lebih membawamu
Untuk hilang dari bimbangmu
Ya…,
Hari yang ada di ujung janur itu
Dan ada sebungkus kado
Yang terbuat dari bekunya getah kayu itu
Agar istimewaku (Alna) menjadi harapan siang, senja, dan malam

Pekanbaru, (23.25 WIB) 5 Maret 2006


Puisi yang Bersemayam
(Telah terbit di SKH Riau Mandiri, Minggu, 2 Desember 2007)

Aku tidak pernah lagi mendengarkan kata-kata indah dari langit
Padahal kata-kata indah yang berakar
Menjadi rapuh oleh reruntuhan cakrawala
Sehingga terpecah derai menjadi debu
Aku tanyakan pada ‘alim ulama tentang kata-kata indah itu
Dia hanya pandai menjawab:
Kalau kau telah kehilangan hati
Lalu aku kembali bertanya kenapa hatiku hilang
Dia hanya melintingkan tasbihnya
Dan sekali menjawab:
Kalau aku sebenarnya sudah mati akan kata-kata indah itu
Dan aku katanya tidak akan pernah menemukan kata-kata indah
Karena aku sudah jauh dari-Nya

: “Dialah terindah yang pernah aku rasakan
dan puisi-puisi itu sudah ada pada-Nya
dan tidak akan pernah dikembalikan padaku
kalau aku sebelum menjadi batu untuk tetap tegak
kaku dan beku agar puisi indah itu
ditanamkan dalam hatiku dan mengubahkanku
menjadi kertas-kertas, lalu kapas dan menghentikan nafas

Pekanbaru, (23.40 WIB) 5 Maret 2006,


Dia Ada di Sejumlah Akar
(Telah diterbitkan di SKH Riau Mandiri, Ahad, 10 Februari 2008)

Menyesatkan duka hingga bergelimang
Mata air mengaliri ke hilir
Dan membawa kembali ke tebing
Lalu hinggap sejenak ke rawa-rawa
Jadilah sosok manusia-manusia yang kehausan
Dan meronta agar menemukan alamnya

Dia sadar pada kesunyian itu
Tapi dia tetap ingin hinggap menjadi benih
Yang tidak tahu apakah dia menjadi amahan atau menjamah

Dinding-dinding panggung menjadi pekak
Dan alas sudah bosan untuk terus di aliri hingga nifasnya
Kuku-kukunya tajam, kakinya lasak,
Dan matanya menatap surga
Menjerit ingin mati
Dan teriak agar hidup

Terhalang jari jemari dan kaki mengayun ke muka bumi
Bersandar pada takdir
Bersujud akan umur
Menjanur jelang uzur
Rezki yang telah terukur
Selasih sudah terbusur
Hinggap kembali pada kubur

Dan akar-akar hanyalah menjadi saksi

Pekanbaru, (23.53 WIB) 5 Maret 2006


Selamat Malam Tuhan
(Telah diterbitkan di SKH Riau Mandiri, Ahad, 10 Februari 2008)

Selamat Malam Tuhan!
Selamat berjumpa kembali
Yang tidak pernah aku temui
Aku sudah melihat Kau ada di lubuk ini
Tapi lagi-lagi kau hanya mengukir

Selamat Malam Tuhan!
Aku sudah rindu dengan percakapan ini
Yang dulu pernah aku temui-Mu
Tapi sayangnya
Kau hanya sibukkan dengan keburukanku
Agar aku jangan selalu menjadi patung yang bernyawa
Supaya aku terus membendung sungai
Yang ada di kelopak mataku

Selamat Malam Tuhan!
Keningku sudah menjadi arang
Lututku sudah memar
Mataku sudah menjulurkan empedu
Dan hatiku sudah merajai
Tinggal lagi aku beusaha untuk menemui fajar

Selamat Pagi Tuhan!
Semua sudah ada di detak jantungku
Dan aku sudah temui fajar
Bahkan hingga senja menyingising
Tapi sayangnya…
Kau selalu ada di sebalik langit.

Pekanbaru, (24.02 WIB) 6 Maret 2006


Dungu

Dia menjulur
Hingga tersungkur
Mata kabur
Tengkuk melebur
Rambutnya uzur

Dia jorok
Iq jongkok
Kerjanya ngorok
Tingkahnya bobrok
Selalu mencari borok

Dia malas
Hatinya gemas
Suka memelas
Hingga merampas
Hingga panas

Bertaubatlah dungu!

Pekanbaru, (22.55 WIB) 22 Maret 2006


Bercumbu Bersama Bunga-bunga

Dia hanya tumbuh bersama lebah
Dan lebah mencari makanannya di pancaran itu
Sehingga harus merasa berhutang
Agar lebah memberikan wewangian
Bagi gemerlap malam-malam

: “Kembali harus bercumbu” katanya
Dahaga bernyawa itu yang membuat robohnya degupan
Sehingga ruang-ruang merubahnya menjadi kelam
Dan hanya diakhiri tawaran agar sama-sama berpulang

Kembali harus mencari cumbuan
Dan kembali menemukan bunga dulu yang telah lama layu
Agar direbahkan hingga ruang-ruang kembali kelam
Dan lagi-lagi tawaran yang dikeluarkan lebah
Dan lagi-lagi pula bunga layu tersendu menjadi lebih layu

Lebah dan bunga sudah merasakan pilu
Untuk menjadi dua sosok yang menderita selama hidup
Bunga itu menjadi berduri yang diambil dari sengatan lebah
Dan lebah menjadi layu untuk dicumbui

Pekanbaru, (23.07 WIB) 22 Maret 2006


Bisu-bisu

Terbungkam sudah pori-pori
Melewatkan tingkah yang bias dalam cengkraman
Melewati jenjang yang tak bertiang
Hingga langkahnya berujung pada penderitaan
Enggan berucap walaupun hanya sedetik
Dia lebih memilih dirinya
Untuk mendekamkan dalam jiwa-jiwa

Berpulang pada hati
Berlontarkan busung hingga mencium lututnya
Dada-dada terisak melemah dan menjadi patah arang
Sunyinya harap itu
Sudah kembali mempulangkan bungkaman petaka
Hanya percakapan antara hati dan jiwanya saja yang mengerti
Dan jantung hanya menjadi saksi hinaan itu.

Pekanbaru, (23.17 WIB) 22 Maret 2006


Kritikkan Sang Kulit Hitam
(Bentrok mahasiswa Uncen Papua dengan aparat kepolisiaan pada Kamis, 16 Maret 2006, yang menyebabkan 3 orang polisi dan 1 orang TNI AU tewas)

Melangkah demi langkah
Satupun cita-cita terawang
Sudah ada terbetang di seberang jalan
Matanya menyedu dan kulitnya menjadi luluh
Akibat bendera itu didirikan setengah tiang

Dia mengambil apa yang ada di depan matanya
Dan membuang apa yang ada terlihat oleh mata angin
Kembali bersua menjamu duka
Dan cita sudah terkubur oleh waktu
Dan waktu sudah tersimpan rapi di peraduan

Pekanbaru, 16 Maret 2006


Membendung Tangisan Si Bisu

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada seluruh manusia
Agar bisa bersama-sama menari dan berlari di atas kain lipatan
Yang di dalamnya ada topeng-topeng menyeramkan
Pasti topeng-topeng itu akan dipakai manusia
Untuk menari dan berlari lebih jauh lagi

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada seluruh manusia
Untuk bersama-sama melihat keindahan satwa
Yang di dalam satwa itu ada kunang-kunang dan laron
Pasti kurang-kunang dan laron itu menjadi santapan manusia
Agar bisa menjajalkan diri hingga adzan subuh tiba

Seandainya Tuhan sudah menjanjikan kepada manusia
Supaya bersama-sama berbicara indah-indah sehingga tertawa
Teruntuk angin malam yang telanjang oleh kebebasan
Pastilah manusia-manusia bisu berontak
Betapa tidak adilnya Tuhan

Pekanbaru, (23.18 Wib) 24 maret 2006


Seandainya

Seandainya manusia tahu keindahan dalam Islam
Mereka akan berbondong-bondong mencari tetesan zamrud
Seandainya manusia tahu
Kalau kebangkitan Islam akan menghidupan manusia
Mereka akan mencari keimanan itu
Untuk mempertemukan di masing-masing masjid

Seandainya manusia tahu kalau Allah Maha Besar
Manusia akan mensujudkan kepalanya ke tanah meminta ampun

Seandainya manusia tahu kalau kiamat sudah ada di ujung pedang
Manusia-manusia akan berjemaah shalat tahajud

Dan seandainya manusia tahu kalau Allah menyediakan syurga
Manusia-manusia akan berlari-lari,
Merangkak,
Memelas,
Meronta,
Mengharap, dan menangis
Untuk bertaubat meminta ampun
Karena manusia-manusia telah mendustakan Allah dan Islam

Marilah tunggingkan pantatmu!
Wahai kau yang sebentar lagi akan menjadi tanah
Dan tulang belulang

Pekanbaru, (23.45 WIB) 24 Maret 2006


Mencari Waktu yang Hinggap

Seiring denting waktu
Bara-bara itu yang mencaji corong lagu
Sehingga merubah sekejap malamnya yang angkuh
Koran dan Qur’an telah membisu
Supaya anggapan menjadi peliknya malapetaka

Dialah orang-orangan sebagai hiasan kumuh
Dia pula patung-patung yang ada dan mengabaikan yang berada

: “Kembalikan waktunya yang tersita, agar siangnya
Bersahaja akan rasa raja”

Dia pulang, lalu keluar, hinggap, dan pudar bersama waktu

Jakarta Pusat, (15.55 WIB) 28 April 2006


Gara-gara Bajaj, Ia Ke...

Memang harus berpanas-panas untuk desak-desakan
Bukan bajaj namanya kalau bukan mendesak
Tapi bajaj menjadi tampang kota
Betawi julukannya bukan mengubah si kancil usulannya

Dia tetap menjadi dekorasi kota yang penuh gerlap
Sehingga tidak gagap karena gelap
Padahal pelayaran bajaj berhasil membawa titik
Hingga ujung simpang kesiuran
Tapi tetap kokoh, bagai tangan dan mata kaki
Hingga ke liang derasnya keringat
Hingga ke...

Jakarta Pusat, (16.28 WIB) 28 April 2006


Jum’at Malam

Sehari aku jumpa matanya
Tapi hilang setelah aku memejamkan hatiku
Dan dia kembali lagi untuk menatapku
Ternyata hanya ada kesunyian dan detak jantungku di hatinya
Walaupun dia tidak ada di hirupanku
Aku tetap merasa hembusan jarinya ke telingaku
Dan langkahnya terdengar oleh mataku
Dan senyumnya ada di setiap nyawaku

Jakarta Pusat, (16.40 WIB) 28 April 2006


Cerita dalam Tokoh

Terapung keinginan seraya berfatwa :
“Aku adalah jalang-jalang tuah yang hanyut pada kemarau lalu”
Patahkan saja ranting yang sudah mulai rapuh kerontang
Akibat kemarau yang berabad lamanya
Pagi hingga paginya pun kami masih merasakan hiruk
Dan pikuk yang kiambang terus menerus

Rab….!
Jatuhkan air mata-Mu ke tanah yang malang ini
Karena kami sudah hampa dengan jeritan yang teramat pekik

Rab…!
Tak usah Kau timbang-timbang lagi
Karena titipan-Mu sudah hanyut bersama waktu
Naskah drama apa yang lagi akan Kau hibbahkan
Padahal semua peran sudah kami tokohi
Tidak ada lagi sutradara teranjung
Tidak ada segala penata terbaik
Tapi…,
Hanya ada kata :
“Kami telah menjadi aktor yang selalu salah”

Menjerit…!
Sambil ku tatap atas kepala ku
Pada akhir nafas syahadat yang aku simpan dalam laci

Pekanbaru, (11.56 WIB) 24 Desember 2006


Khalifah Buta

Paruh baya tahun ini
Aku menjelma menjadi bulan
Dan kau tak ubahnya bintang yang bersusun rapi dengan awan
Bersama dengan waktu
Kau lalu aku adalah sama-sama hati
Yang sama-sama sedang mencari bulan dan bintang

Sapa saja kegalauan turap paruh yang hampir rapuh
Karena santun sudah dilipat menjadi rapat
Apalagi petuah yang dituliskan di atas daun kemangi
Sudah redup tintanya atas seribu musim
Ada musim larut!
Ada musim bangkit!
Ada musim taubat!
Dan ada musim menjerit kepedihan

Pada hayalku
Aku terbuang bersamaan sepinya malam
Lalu hinggap pada peraduan senja
Hanya ada pada benakku :
“Telah terbuang sudah ranah ilalang Melayu
Atas kehendak Hang Jebat yang katanya durhaka
Tetapi Tun Teja lah yang marah atas segalanya
Karena dirinya masih suci”

Aku hanya bisa menjerit
Mewakili khalifah yang nafasnya sudah di pelupuk tenggara
Karena aku bersama yang lain hidup dengan tangis
Dan merasa dijajah pada pelukan ruangan yang gelap

Kamilah khalifah-khalifah buta itu
Yang siangnya selalu menangis,
Malamnya menjambak,
Dan akhir hayatnya meratap-ratap atas serapah ruah

Pekanbaru, (00.31 WIB) 25 Desember 2006


Menemukan Perempuan dalam Dada

Duduk bersimpuh, tatkala mengeluh
Menjerat kaki tangan di perhujung poros
Bak menyesal karena bisa tahu hatinyalah yang berkata
Bukan mata dan bukan lidah, dia tahu…

Rambutnya yang terkadang tak menentu
Umpama menunjuk dua Tuhan
Satu Tuhan yang akan hidup
Dan dua Tuhan yang akan menghidup

Satu persatu air mata dan jarinya
Mulai menjamah bumi dan kening
Sebagai tanda ada murka menimpanya
Dan menunggu bandang-bandang hanyut
Ke dadanya yang sudah membeku

Aku tiap tahun menatap rambut, kening, air mata, dan jarinya
Dialah Mak Esah
Yang selalu menyembunyikan tubuhnya ke dalam dada

Pekanbaru, (16:15 WIB) 30 Desember 2006


PUISI 2007

Air Mata Dasri
(dibaca pada saat mengenang satu tahun wafatnya Dasri Al Mubary, Rabu malam, 30 Mei 2007 yang diselenggarakan UKM Batra Unri)

+ Assalamu’alaikum, Dasri…
Tampaknya kau baru saja selesai shalat Magrib

- Kenapa kau datang pada Magrib ini?

+ Aku hanya ini menagih janjimu kepadaku

- Aku tidak pernah membuat janji fana bersama mu

+ Kau pasti lupa, Dasri...

- Tidak!

+ Kau lupa atas janjimu

- Apa?

+ Aku hanya ingin menanyakan apa kabar puisimu?

Dasri menangis bagaikan embun yang jatuh di siang bolong

+ Kenapa kau menangis, Dasri?

- Aku sedih.., kalau puisiku di tinggal orang

+ Dasri...! Orang-orang baru saja membaca puisimu dengan baik..

- Tapi..., aku mau kalau aku hadir bersama mereka!

+ Tidak mungkin, Dasri!

- Mungkin!

+ Tidak mungkin..!!

- Mungkin..!!

+ Tidak mungkin..!!!

- Mungki...nn!!!

+ Tidak mungki...nn!!

- Mungkinn..

+ Tidak mungkinn..

- Kenapa tidak mungkin...

+ Karena...!

- Karena apa?

+ Karena kau sudah mati bodoh!! Biarkan saja mereka yang mengenang

- Ha..!! Aku sudah mati..? Aku belum mati! Aku masih punya ”Tamu”, ”Dengarkah”, ”Seru”, ”Burung Hari”, ”Dakki”, ”Dzikir Hari..”

+ Alah..! Itukan dulu, Dasri!

- Malangnya nasibku...! Aku menyesal mati....!!

+ Dasri.., jangan pernah kau sesali kehendak Tuhan!

- Aku terlambat! Aku terlambat memberikan buku puisi terakhirku kepada mereka..

+ Aku bisa mengantarnya, Dasri..

- Ia..! Tolong berikan kepada mereka yang masih hidup tentang buku terakhirku... yang berjudul ” Kematian Cinta”

Pekanbaru, (21.20 WIB) 30 Mei 2007


Kemudi yang Patah

Sanggupkah lagu-lagu yang aku dengar silam
Bisa menyejukkan mata hatinya bintang?
Biarkan saja dahan itu menyejukkanya
Karena bintang sudah penat untuk menggantungkan nyawa
Dirinya bukan lagi berada di tengah langit
Melainkan di rongga purnama
Yang menyala di setiap beberapa bulan perempatan akhir tahun

Malu aku menjenguknya..
Karena setiap kedipan mataku
Akhir dari perhitungan nyawaku
Patah hatiku
Merajuk nasibku
Punah harapanku
Diakhir do’a...

Pekanbaru, (01.56 WIB) 2 Juni 2009


Merah Merona

2004 banyak warna di bilik
Satupun tidak aku suka
Merah, putih, biru, kuning, hitam, abu-abu, hijau...
Semuanya aku temukan di lubang kakus

“Aku harus memilih warna!”

Oh! Mana dia!
Di mana kau warna merona!
Tidak di kakus, di parit, di lubang busuk, di gigi berlubang
Ah! Semua pembengak...!

Aku tertipu oleh warna semua yang merona
Tidak ada satupun yang aku jumpai warna Tuhan dan Nabi

Ada...
Dia ada di hati siapa saja yang masih mengingat-Nya

Sampai jumpai di bilik warna 2008

Wassalam!

Pekanbaru, (02.09 WIB) 2 Juni 2009


PUISI 2008


Sajak Anak Talang Mamak, Yang Tak Tahu Tanda Baca

: “Tiar!
Apakah Kau pernah mencium wanginya ulayatmu?”

Tiar menangis, dan Tumpu, adiknya,
Tetap saja mengoleskan telapak tangannya
Ke arah hidungnya yang setiap hari terleleh ingus.

Bias polos pada suku yang hidup selalu bersama pohon dan rating itu,
Mengajak untuk menangis berjema’ah.
Meratap!

Kembalilah, Kau, Anak-anak Talang Mamak..
Sedih, sambil mengutil kelaminya dengan jari-jarinya yang kumuh
Karena tak mengenakan sutra selembut kekayaan suku itu.

: “Tiar!
Apakah Kau ingin mengenyam?
Sama dengan cita-cita anak-anak yang bertahta?”

Tiar, anak kandung suku marginal di tanah gambut nan gersang itu,
Masih saja membisu sambil meneteskan mata air tak bermata air.
Makanya Ia acuh.

Tiar, Anak Talang Mamak yang pernah hidup 27 tahun,
Masih saja bodoh dengan tanda baca dan huruf-huruf kapital.
Dia buta dengan tanda baca, apalagi membaca-baca.
Matanya berkaca-kaca, apatah lagi menerka-nerka,
Makanya Ia acuh.

Tiar, Anak Talang Mamak yang hanya pintar menulis sajak marginal
Bercarut atas nasib suku peninggalan moyangnya.
Menetek saja yang tidak pernah mereka pelajari,
Selebihnya hutan-hutan dan ranting yang ada di bangsanya
Perlahan-lahan mati bersama memuainya setiap hari air Indragiri.

Tumpu, adiknya yang ingusan itu, hanya bisa menjeling,
Menatap ke arah tangisan Tiar, yang hangus legam oleh waktu.

: “Kakak! Sudahkah kau menulis sajak?
Biasanya pada petang ini,
Kau menulis sajak buat Gagak-gagak
Yang setiap fajar hadir tepat waktunya?!”

: “Sudah! Sajak itu sudah aku buat,
Yang sebentar lagi akan aku antar bersama merpati putih buat Si Gagak.”

: “Untuk apalagi Kau terus menangis, Kakak?”
: “Untuk ulayatku yang susah mengajariku membuat sajak indah.”
: “Kalau begitu, teruslah menangis, Kak!
Sampai Gagak-gagak itu memberikanmu dawat dan kertas.
Agar Kita si Talang Mamak bisa tahu tanda baca!”

Tiar dan Tumpu saling berpelukan ketakutan di tengah hutan yang baru saja ditebang dan terbakar.

Pekanbaru, (02.17 WIB) 29 Maret, 18 Juni 2008


Dari Sebuah Perjalanan

Dari perjalanan yang ada
Hanya waktu yang kuanggap tidak pernah seiring denganku
Padahal kata-kata kesetiaan pernah aku jalin bersamanya
Namun keberadaan itu yang masih bertentangan denganku
Sampai hinggap di persinggahan pun
Aku masih saja menjadi lorong kelam bangsat
Dan si waktu tetap saja mengiringiku
Mencercaku
Mengelabui pandanganku

“Kau Durjana. Waktu yang setiap saat kau hitung
Adalah kebutaanmu untuk kami menjadi kalah
Pada setiap pertanggungan”

Karena tetap saja waktu itu mengiringiku
Aku mengalah dengan menutup usiaku
Di tengah gurun tak berpohon nan gersang
Anehnya, waktu itupun ikut menutup detaknya

“Berarti.., si waktu itu adalah nyawa kesetiaanku
Menyesal aku jadinya!”

Pekanbaru, (18.30 WIB) 23 Mei 2008


Kata Hati Seorang Perempuan Jompo

Dia riang..
Namun tetap saja menyimpan kata tak pasti
Di dalam hati beserta matanya
Dia tersenyum bersama sejawatnya
Pasti saja sesudahnya dia menangis

Pantas saja dia bagai gelombang
Karena kegembiraan hari senjanya
Direnggut oleh masa renta yang menitipnya
Aku menangis saat dirinya harus memakan nasi
Yang sudah terlebihdahulu dikerumuni lalat dan semut merah
Dan bahkan aku terus tersedu
Ketika jompo itu mati tak terkubur dan tidak disapa anaknya

Banyak kisah memilukan di hari-hari senja
Yang tak pernah penuh dengan makna itu

“Sayangi yang masih hidup wahai malaikat tak sempurna”

Pekanbaru, (18.55 WIB) 23 Mei 2008


Tangisan Mey di Bulan Mei

Di tengan gerumunan orang-orang
Mey mencoba mengira
Kalau dirinya pasti bisa nak memperoleh sepenggal kata
Kata itu yang diperebutkan gerumunan
Tak mahal harganya
Namun bermodal untuk dapat hidup satu hari
Mey menerobos pagar betis yang sudah tersusun rapi
Dan pada endingnya, Mey harus menggigit jarinya, mengeluh
Mey di Mei adalah masa kepiluannya untuk berjanji
Tidak akan hidup bertemu si Mei
Karena Mey takut dengan Sang
Yang duduk di singgasana pemberian gerumunan
Yang saat ini tengah menanti..,
Dan bisa mematikan Mey..

Nasib Mey ada di bulan Mei pilu

Urungkan saja niatmu wahai Sang Penentu!

Pekanbaru, (19.20 WIB) 23 Mei 2008


Catatan Kalau Aku Mati Kelak

Kelima jari tangan kanan dan kiriku
Adalah saksi kepedulianku selama puluhan tahun ini
Karena jari-jari itu selalu adil di setiap kesedihanku
Untuk mengusap dadaku yang sedang sedih
Dan yang paling aku sayangi adalah air mata
Dan kesunyian yang tidak pernah luput menenangikui
Agar aku, “Jangan menangis, Parlin”
Dan salah pasrahku kepada penaku
Yang selalu mengakhiri kesedihanku
Untuk dituangkan dalam kalimat-kalimat
Yang akhirnya aku harus menangis kembali
Lalu dituangkan kembali ke susunan kata-kata
Namun, hingga saat ini aku tetap mencari kegembiraanku
“Agar aku tidak sedih terus menerus
Dia adalah cinta kesetiaanku
Yang dapat memahami setiap kegelisahanku selama ini
Tetapi dia belum ada

“Apakah akan ada di akhir nyawaku?
Atau dia memang tidk pernah akan ada?
Matikan saja aku kalau begitu!
Dan biarkan penaku tetap hidup
Untuk dapat memuat setiap kalimat akhir hidupku
Yang terus mencari dia sesungguhnya”

Pekanbaru, (19.45 WIB) 23 Mei 2008


Syair yang Berlayar di Laut Jingga

Syairlah yang dapat menenangkan gejolak di Laut Jingga
Tempat dimana Hangtuah selalu berlayar bersama penggawanya
Untuk mempertahankan kejayaan Melayu
Syair terus bernyanyi bersama bisik-bisik ombak
Sampai terdengar hingga di peraduan seberang Tanah Melayu
Sempat aku ikut mengalunkan syair yang pernah aku hapal
Pada saat syair itu mulai tenggelam secara perlahan-lahan
Di Laut Jingga yang enggan berbalas syairnya
Syair pun perlahan-lahan luluh
Sehingga hilanglah kata demi kata
Lalu Laut Jingga marah dengan menaikkan ombaknya
Pada akhirnya syair enggan berlayar ke tepian

Malang betul nasib syair yang telah mengklasik
Dia hilang begitu saja ketika sudah penat mencarinya
Dan hingga akhir ini
Syair itu tetap terus dicari
Dan pasti dia akan ketemu jua pada akhirnya
Ya.., di buku-buku usang yang tersusun rapi bersama gurindam,
Hikayat-hikayat,
Pantun,
Tuhfat al-Nafis,
Dan cerita tentang Hangtuah.

Pekanbaru, (20.36 WIB) 25 Mei 2008


Sedu Bahasa Akhir Kata Melayu

Setiap ada gundukan kata syahdu, bunga kamboja selalu dibingkai menjadi sebuah karangan. Tidak saja karangan syahadat yang tabah, seraya juga kalimat yang dapat membawa peradaban ke laman yang bertamadun.

Langkah perlangkahnya, seperti jejak rasul yang tetap dikenang oleh penyair bahasa. Menawanlah bahasa itu, menambah kisah kata berpepatah pitih, setelahnya lahirlah ibu kasih yang berkisah Melayu.

Sedu seda ajang bersua antara bahasa dan penyair Melayu hingga menambah kasih dari kisah Melayu.

Pekanbaru, (21.06 WIB) 30 Mei 2008


Sebuah Tangis Apung

Air matamu itu sudah lama aku rasakan
Saat tengah malam nan lalu, "persisnya hari itu, Mata!"
Sudahlah...
Hinggapkan air matamu pada ranting
Dan dihiasi oleh embun apung
Ikut pulalah air matamu bersetara apung

Pekanbaru, (15.46 WIB) 07 Juni 2008


PUISI 2010


Sunyi Adalah Kita

Waktu yang selalu bersamaku setiap harinya adalah sunyi
Sementara, hariku yang lain adalah pedih
Sementara kalian yang menangis adalah perjalanan
Tanah Melayu yang kutinggalkan dua hari lalu tak bersedia menemaniku
Untuk menutupi kegundahanku yang bertahun tahun melukai setiap degub jantungku

Adakah waktu yang selama ini aku cari ada di tengah kalimat syahdu?
Apakah benar, kalau semuanya hanya sekadar kebohongan seiring dengan gejolak yang menimpa anak cucu Adam?

Dia tetap saja sunyi tak mau berkicau
Dengan deraknya arus sungai yang aku simak tadi sore
Aku sadar, kalau hari ini dan semalam adalah riang yang tak terbayarkan
Lagi-lagi harus sunyi dengan kata
Karena sunyik itu adalah aku pilubang.

Payakumbuh, (20.25 WIB) 10 April 2009


Bagai Bunga Bersama Batang

Berawal dari sebuah pertemuan. Kemudian dari pertemuan itu ada mata dan hati yang saling menatap tajam. Berharap bunga impian nan datang, akhirnya tangkai pun siap menahan dahan dari derunya angin. Ranting-ranting hanyalah hiasan belaka dan mekarnya memperindah mata Dia. Alna…

Akar pun siap mengangkat batang tubuh yang telah lama dipancangkan dari hati yang paling curam. Bersama air yang siap menyirami setiap pagi dan sore agar Dia tumbuh bak bunga mawar di tengah padang yang sunyi. Dia kami sebut Alna Berbunga…

Alna…
Kini Dia bersama duri yang siap melukakan siapa saja yang hendak mematahkan bunga itu. Kemudian, kini Dia bersama lebah yang selalu mengawal, bersama akar yang kokoh, bersama batang yang subur, dan bersama cinta yang tetap tertanamkan sampai langit tak bisa lagi ditumbuhi bunga macam Engkau Alna…

Pekanbaru, (14.01 WIB) 20 April 2009


Anak Kini Terbuang

Anak bukan titipan. Anak bukan rezeki. Anak tidak anugerah. Anak bukan berkah. Anak bukan harapan.

Anak adalah tangis. Anak adalah buang. Anak adalah kacau. Anak adalah pilu. Dan anak adalah karam padam.

Kini ia terbuang, tak siang dan tak malam. Hanya terbuang oleh harapan.

Pekanbaru, (12.06 WIB) 27 April 2009


Mencari Kata-kata

Aku lihat hanya ada kata-kata di mana-mana. Tak pernah aku menatap muka yang tersanjung dengan kata – karena kata selalu menjadi masalah panjang yang tak berujung.

Pekanbaru, (16.30 WIB) 4 Juni 2009


Ku Tatap Mataku

Kutatap mata dalam mataku, ada butiran hitam, namun ia tajam. Berkedip pintanya, takjub akhirnya. Kupandang mataku, ada cahaya syahdu nan menawan. Dalam sekejap aku terdiam, ada hatiku pada jiwanya. Lahirlah mata baru, yang akhirnya kututup mataku. Dan membuka kembali mataku hingga tak mampu hendak menatap butiran hitam nan tajam.

Pekanbaru, (09.46 WIB) 01 Desember 2009


Sepatah Asa

Sepatah asa tak selalu di akhir cerita, takdir menerpa membawa luka. Mulanya biar tahu rasa, menjadi dosa tak berpalang. Ketika nama menjadi lambang, bendera pun menjadi simbol, kemerdekaan jiwa pun belum tentu ada dalam jantung yang goyah. Katakanlah hai manusia, “Aku adalah lakon kebejatan itu” yang siap menjadi luka paling dalam. Katakanlah hai kebejatan, “Kalau manusia adalah luka teramat dalam”. Katakanlah hai ilalang, kalau kau tumbuhan yang mulia.

Pekanbaru, 02 Desember 2009, 10.30 WIB


Kata adalah Waktu

Tak usah kau membanggakan dirimu kaya dengan kata-kata tu. Karena dengan kata-katamu, puisi takkan menjadi kata. Karena setiap apa yang kau sandarkan adalah jiwa yang menetap oleh waktu. Kata tak dapat disangkutkan dengan puisi, melainkan dengan gaya dan waktu.

Pekanbaru, (15.10 WIB) 03 Desember 2009


Duli Tuanku, Lukaku dan Lukamu adalah Cawang yang Rekah

Tuan,
Cawang yang di cegak itu telah merekah batangnya
Makanya, senjakala tak lapuk dalam pelukan dada dan punggungmu
Mengigau dan racau hingga tubuhnya menggigil
Ia berharap, Tuan memeluk senjakala itu

Tuan,
Lukaku dan lukamu adalah cawang yang rekah
Tatkala lubukmu menjadi tangisan kami yang senantiasa bersenda gurau bersama syair
Senarai pantun sudah digenggam olehmu, Tuan
Makanya hendak pergi melalang buana sudah lagi menjadi nestapa
Akhirnya, kami pulang membawa luka yang engkau suguhkan, Tuan

Tuan,
Manakala aku menjadi Tuan
Akan aku terbitkan gurindam nan menggoyahkan tegap gempitamu
Karena aku tahu, kalau petuah yang menjolak dapat membakar nafasmu
Hingga Tuan tak menoleh lagi ke rupa ku dan mu yang runyam bersama dongeng

Tuan,
Kalaulah Tuan mafhum, kutawari dosa yang melekat dalam tubuhmu
Untuk aku ubah dengan kata maaf dari majelis kami yang pucat pasih ini
Dari rapai tak kunjung usai
Kami titip salam atas sikap Tuan yang jamak tak bermarwah

Duli Tuanku,
Atas nama cawang yang rekah
Segerombol pantun dan gurindam kami bingkiskan buat Tuan
Karena kami telah senggugu kaku nan tak berdaya
Maafkan paduka, Tuanku
Hamba tengah berdongeng buat anakku yang cengeng
Jangan belenggu aku, Tuanku
Karena aku adalah hambamu yang sekali saja bersajak keras


Tahniah : selamat
Cawang : cabang, bidang
Cegak : tubuh kuat, tangkas, sibak, terbuka
Senjang : antara, menjelang
Senarai : jadwal, daftar
Bestap : duka cita
Menjolak : api yang meninggi
Rupa : wajah
Runyam : kacau
Mafhum : paham, mengerti
Majelis : perkumpulan,
Rapai : menggapai
Duli : panggilan kepada raja
Senggugu : nangis tersedu-sedu

Pekanbaru, (17.41 WIB) 04 Desember 2009


Biarkan Lukaku

Biarkan lukaku dulu menetap di peraduan lubukmu yang sedah-sedu, agar dirimu ingat namaku yang syahdu. Jangan kau campakkan girang kita yang dulu, karena tawamu tetap kusimpan dalam ingatanku. Alna adalah sedih tawaku yang hampir saja kami lupakan. Tapi, aku dan dia takkan mati lupakan namaku dan namamu yang sembunyi di langit ke tujuh.

Pekanbaru, (16.27 WIB) 04 Desember 2009


Pulanglah, Mak
(Buat Minah sang pencuri 3 buah kakao di sebuah perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA), yang berada tidak jauh dari rumahnya. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto (Jateng) membacakan vonis hukuman tiga bulan percobaan terhadap Minah (55), seorang nenek warga Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Kamis (19/11/2009))

Pulanglah, Mak. Tak usah harap kata-katanya itu. Emak tertipu besar olehnya. Lakukan saja apa yang Emak anggap baik, walaupun mencuri itu dosa tempatnya, kalaulah itu baik, lakukan dengan tulus, Mak. Jadi dirimu sendiri, Mak. Tak usah kau dengarkan lagi katanya itu. Karena kau bakal jadi pencuri ulung. Sudah pulang, Mak! Pulanglah!

Mak,
Jangan sedih
Ada kebun kakao indah buatmu
Akan ada batang kakao baru buatmu
Beri mereka kakaomu
Agar lainnya tak mencuri kakaomu

Pekanbaru, (09.57 WIB) 07 Desember 2009


Ups! Matilah Aku

Setiap helai rambutku adalah tasbih. Lalu, setiap tasbihku adalah ingatanku atas dosa. Dan jutaan dosaku adalah kerikil kecil tajam yang menancap di telapak kakiku nan gemetar. Mengintip waktuku itulah yang membuat aku terperangah. Tak kusangka, kalau bayangku adalah rambut yang bertasbih atas dosa. Banyak. Dan tak dapat dihitung jari tangan dan kaki.

Kulontarkan dalam keheningan syahduku, aku tak tertoleh, karena aku menggulung badanku kedinginan. Menggigil, menggerutu, dan mendengkur. Ups! Patah sudah. "Matilah aku".

Pekanbaru, (14.51 WIB) 09 Desember 2009


Kisah Kejujuran Pohon dan Waktu

Bila hendak menerka waktu, biarkan angin lalu lalang menghembuskan dahan. Mati dan hidup adalah waktu, makanya angin biarkan menghembus. Ranting dan daun takkan goyah, bila niat tak melangkah. Pohon menjadi kokoh, saat akar bersetubuh dengan tanah. Makanya, pohon dan waktulah yang jujur.

Pekanbaru, (10.13 WIB) 10 Desember 2009


Tiada

Awal kisah legenda bapak ibu menjadi pengemis. Sahabat karibnya adalah debu. Ladang tawanya adalah caci. Setiap langkahnya adalah ada dan tiada. Satu hari ada kisah, dua hari ada tangis, tiga hari ada-ada saja yang tiada. Ketiadaan adalah kebutuhannya untuk berpikir di mana dirinya harus mencari ada dan tiada itu lagi. Ini kisah sebahagian bapak dan ibu malang yang ada dan tiada harapan masa yang tiada.

Pekanbaru, (14.14 WIB) 14 Desember 2009


Tanda

Malam sebagai tanda. Pagi sebagai awal. Siang sebagai siaga. Dan petang sebagai peringatan. Awan sebagai siang. Senja sebagai petang. Bintang sebagai malam. Dan embun sebagai pagi. Awan, senja, bintang, dan embun adalah kita. Dan kita adalah tanda. Tanda sebagai penentu, penentu apa dan siapa kita dan Tuhan kita.

Pekanbaru, (15.48 WIB) 17 Desember 2009


PUISI 2011


Bagai Bunga Bersama Batang

Berawal dari sebuah pertemuan. Kemudian dari pertemuan itu ada mata dan hati yang saling menatap tajam. Berharap bunga impian nan datang, akhirnya tangkai pun siap menahan dahan dari derunya angin. Ranting-ranting hanyalah hiasan belaka dan mekarnya memperindah mata Dia. Alna…

Akar pun siap mengangkat batang tubuh yang telah lama dipancangkan dari hati yang paling curam. Bersama air yang siap menyirami setiap pagi dan sore agar Dia tumbuh bak bunga mawar di tengah padang yang sunyi. Dia kami sebut Alna Berbunga…

Alna…
Kini Dia bersama duri yang siap melukakan siapa saja yang hendak mematahkan bunga itu. Kemudian, kini Dia bersama lebah yang selalu mengawal, bersama akar yang kokoh, bersama batang yang subur, dan bersama cinta yang tetap tertanamkan sampai langit tak bisa lagi ditumbuhi bunga macam Engkau, Alna…

Pekanbaru, (14.01 WIB) 20 April 2009


Waktu

Detik adalah waktu yang selalu terlewatkan, menit juga demikian
Jam terkadang menjadi ingatan yang terlupakan
Cuma hari tanpa terasa itulah yang selalu membuat aku lupa
Kalau aku mendekati mati

Pekanbaru, (15.26 WIB) 28 Januari 2010


Buta Rembulan

Malam boleh saja kalah terangnya oleh matahari
Tapi malam dapat menerangkan hati
Di kala kita tahu kalau gelap itu adalah penting untuk sebuah renungan

Tertutup bagiku, kalau matahari dan bulan adalah sahabat
Karena aku buta bila diterangi cahayanya mentari dan rembulan
Apalagi bintang, berderangnya hanya hiasan belaka

Dia hanya ada dalam hati..

Pekanbaru, (10.25 WIB & 11.11 WIB) 08 & 09 Februari 2010

1 komentar: