Senin, 27 Februari 2012

Potensi Hutan Buluhcina, yang Lahir dari Kearifan Lokal


Di sebuah desa yang bernama Desa Buluhcina, Kabupaten Kampar, Riau. Desa yang memiliki kebudayaan jiwa untuk tidak merusak lingkungan ini, memiliki kekayaan alam yang turun-temurun masih tetap terlestarikan. Dia adalah Hutan Wisata Buluhcina. Hutan Wisata Buluhcina ini luasnya 1.000 hektare. Sepintas kita melihat hutan ini dari kejauhan hanyalah seperti hutan biasa. Namun, hutan ini memiliki kelebihan dari hutan-hutan lain. Dengan usianya yang sudah ratusan tahun ini, dia berada di tengah-tengah budaya keikhlasan warga Desa Buluhcina untuk merawat dan mempertahankan bentuk keasrian, keutuhan, dan kekayaan kandungan flora dan fauna tropis yang ada di dalamnya.

Sejarah terbentuknya hutan alam ini sebagai hutan wisata alam, sejak Gubernur Riau mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: kpts.468/ix/2006 tentang Penunjukan Kelompok Hutan Buluhcina di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Seluas 1.000 Hektare sebagai Kawasan Wisata Alam.

1.000 hektare lahan ini merupakan lahan warga Desa Buluhcina yang mereka ikhlaskan untuk dijadikan kawasan hutan wisata alam tanpa diganti-rugi. Makanya, hutan Buluhcina ini lahir dari kebudayaan masyarakatnya yang arif lokal.

Di Riau memang terbilang banyak tempat-tempat wisata yang patut diacungkan jempol dari segi keaslian alam dan keindahannya. Tempat-tempat wisata di Riau tidak saja indah dengan nuansa laut, danau, situs-situs peninggalan sejarah belaka, tapi kita coba melihat potensi wisata kekayaan alam yang tidak semua orang tahu.

Desa Buluhcina. Sebuah desa yang luasnya sekitar 2.500 hektare ini letaknya memang terbilang daerah pinggiran dari ibukotanya, Bangkinang. Kalau dari Bangkinang, jaraknya sekitar 80 kilo meter. Namun, kalau dari Kota Pekanbaru, ia bisa ditempuh dengan waktu sekitar 25 menit dari tengah pusat Kota Pekanbaru. Sekitar 25 kilo meter.

Desa Buluhcina adalah sebuah desa yang aman, penduduknya yang ramah, dan pola kehidupannya yang masih mengedepankan kehidupan adat-istiadat, tentunya menandakan desa ini adalah desa yang belum banyak tersentuh westernisasi atau kebarat-baratan

Desa ini memiliki jumlah penduduk sekitar 400 kepala keluarga dan terdiri dari 1.500 jiwa. Sebahagian besar penghasilan mereka adalah bertani dan nelayan. Desa ini juga memiliki dua suku, yakni Suku Domo dan Suku Melayu.

Selain kelebihan-kelebihan itu, desa yang memiliki jiwa untuk tidak merusak lingkungan ini, memiliki kekayaan alam yang turun-temurun masih tetap terlestarikan. Dialah Hutan Wisata Buluhcina.



SK Gubernur Riau Nomor: kpts.468/ix/2006 tentang Penunjukan Kelompok Hutan Buluhcina di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Seluas 1.000 Hektare sebagai Kawasan Wisata Alam, berdasarkan Surat Lembaga Musyawarah Besar atau lMB Buluhcina Nomor 367/lMN/xi–2004 tentang Permohonan Perencanaan dan Pengembangan 1.000 Hektare Hutan Konservasi di Buluhcina, yang menyatakan, pucuk adat Desa Buluhcina telah menyerahkan tanah ulayat kepada Gubernur Riau HM Rusli Zainal seluas 1.000 hektare untuk dijadikan Taman Wisata Alam.

Tidak itu saja, berdasarkan pertimbangan teknis dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau, dengan surat Nomor 522.1/PR/8217 yang menyatakan, tanah ulayat yang diberikan ke Gubernur Riau seluas 1.000 hektare, dapat ditetapkan sebagai hutan wisata. Lahan 1.000 hektare tersebut merupakan lahan warga yang mereka ikhlaskan untuk dijadikan hutan wisata.

Berdasarkan pertimbangan ini, sejak Gubernur Riau mengeluarkan SK tertanggal 6 September 2006, maka Hutan Wisata Alam Buluhcina yang memiliki 7 danau ini dikelola oleh masyarakat adat di bawah koordinasi ninik mamak Desa Buluhcina. Syaratnya, melarang warga atau siapa pun untuk membuka ladang baru atau menebang kayu untuk dijual, apalagi merusaknya. Landasan ini juga didasari atas Musyawarah Besar lMB II Tahun 2000.

Lalu, bagaimana dengan dengan warga yang sudah membuka ladang atau berkebun di area hutan wisata ini sebelum penetapan ini dibuat? Hasil muyawarah juga merekomendasi, kalau ladang atau kebun warga tidak diganggu-gugat sama sekali. Hak mereka atas tanah ladang atau kebunnya tetap diakui dan dibenarkan berladang, dengan syarat tidak merusak hutan walaupun dengan dalih perluasan kebun atau ladangnya. Perlu diingat pula, sejak pemberlakukan hutan Buluhcina dinobatkan sebagai Hutan Wisata Alam, ini semata-mata untuk kepentingan semua warga Buluhcina, bukan kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Melihat keberadaan Hutan Wisata Alam Buluhcina yang tetap gagah berdiri di tengah porak-porandanya bentuk sebahagian hutan di Riau yang habis dibabat secara liar, tentunya kita teringat dengan sosok yang berjasa atas terbentuknya hutan wisata alam ini menjadi hutan yang berpotensi di sektor pariwisata. Dia adalah Makmur Hendrik. Makmur Hendrik merupakan Ketua Lembaga Musyawarah Besar atau lMB Desa Buluhcina, Kabupaten Kampar.

Dialah yang menggagas hutan Buluhcina menjadi Hutan Wisata Alam. Dia juga yang memberikan keyakinan ke sebahagian besar warga Desa Buluhcina untuk merelakan lahannya yang berada di 1.000 hektare untuk dimasukkan dalam kategori Hutan Wisata Alam tanpa diganti-rugi. Itu yang mereka namakan kearifan local.

Menurut Makmur Hendrik, hutan Buluhcina hingga saat ini masih asri dan terawat. Bahkan, katanya, di dalam hutan ini, terdapat banyak tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan obat-obatan tradisional dann hewan-hewan langka.

Agar hutan ini menjadi lokasi kunjungan wisatawan yang lebih ramai lagi, kata Hendrik, selain pemerintah mensosialisasikan keberadaan hutan Buluhcina ini dengan baik, pemerintah harus melakukan pengembangan lagi sarana dan prasarana penunjang lainnya.

Ada Tujuh Danau yang Memukau

Untuk mengetahui lebih jauh tentang 1.000 hektare Hutan Wisata Alam Buluhcina ini, kami menelusurinya melalui jalur darat dan jalur sungai yang bernama Sungai Kampar. Sungai ini merupakan arena pacu sampan tingkat internasional yang diselenggarakan sekali dalam setahun. Biasanya diselenggarakan jelang Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, 17 Agustus.

Tepatnya di pagi hari, sekitar pukul 09.30 WIB, dengan menggunakan kapal pompong, perjalanan kami dipandu oleh dua orang pemandu. Yang pertama, Muhammad Ralis. Dia adalah Komandan Satgas Hutan Buluhcina. Dan yang satunya lagi adalah Fadjri Budiono. Beliau ini salah seorang pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Riau.

Penelusuran awal, kami akan melihat danau-danau yang ada di dalam kawasan hutan wisata ini. Ada tujuh danau yang memukau pengunjung. Sebagai tujuan pertama kami adalah melihat Danau Pinang Luar. Kalau mau menuju Danau Pinang Luar, kita harus melewati sebuah muara.

Di sisi kanan dan kiri terdapat pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan yang masih alami. Bahkan, di atasnya juga terdapat banyak pohon yang menutup aliran anak sungai ini dari cahaya matahari, sehingga ia membentuk seperti lorong. Memang kelihatannya seram, tapi aman.

Setibanya kami di Danau Pinang Luar, terlihat danau ini berbeda dengan bentuk danau-danau lainnya. Bentuknya tidak kelihatan tepian daratnya, tapi ia juga dikategorikan danau. Danau Pinang Luar ini memiliki panjang sekitar 500 meter dan lebar 100 meter. Danau Pinang Luar yang bentuknya memajang ini, ternyata kerap dimanfaatkan warga setempat untuk mencari ikan.

Tak lama setelah itu, kami menuju danau yang kedua, yaitu Danau Pinang Dalam. Sambil menuju perjalanan ke Danau Pinang Dalam. Kami menikmati perjalanan yang tak pernah kami lalui. Jarak antara Danau Pinang Luar ke Danau Pinang Dalam sekitar 50 meter.

Menuju danau kedua ini, terlihat di sisi kanan dan kiri banyak potensi rotan yang patut dilestarikan. Lalu juga banyak bunga anggrek yang melingkari pohon-pohon tertentu. Jangankan memetik bunga angrek, mematahkan ranting saja di kawasan itu tak dibenarkan.

Lalu juga terlihat hewan-hewan bebas berkeliaran. Ada bangau, monyet, dan burung-burung unik yang tak bisa diketahui namanya. Kebebasannya seakan-akan menandakan, kalau hewan-hewan ini yakin tak akan diganggu oleh manusia. Ini sebagai bukti, kalau kawasan ini masih terbebas dari tangan-tangan jahil untuk merusak habitan hewan, sungai, dan hutan. Kebijakan kepribadian yang luar biasa. Kalaulah semua hutan dan kekayaan alam diberlakukan demikian, pastilah sumber daya alam kita tetap terlestasrikan.

Setibanya kami di Danau Pinang Dalam, bentuknya hampir serupa dengan Danau Pinang Luar. Danau Pinang Dalam ini memiliki panjang 1 km, lebar kurang lebih 50 meter. Setelah puas melihat Danau Pinang Dalam ini, untuk menuju danau selanjutnya, kami harus keluar lagi menuju Sungai Kampar.

Untuk melihat danau yang ketiga, yakni Danau Tanjung Putus, kami tidak lagi menaiki sampan pompong, cukup dengan berjalan kaki. Kurang lebih satu jam dua puluh menit setelah dari dua danau tersebut menuju Danau Tanjung Putus. Khusus di tepian danau ini sudah dilengkapi fasilitas umum, seperti tempat singgah, kamar mandi dan WC, pompa air, listrik, dan jalan setapak yang sudah di semenisasi.

Dalam Kawasan Hutan Wisata Buluhcina ini terdapat tujuh danau, yakni Danau Pempinang Luar, Danau Pempinang Dalam, Danau Baru, Danau Tanjung Putus, Danau Lubuk Siam, Danau Atehutan, dan Danau Tatangah.

Hutan Ratusan Tahunan
Untuk melihat kondisi Hutan Alam Buluhcina ini, pemandu mengajak kami menuju ke pohon-pohon besar yang usianya rata-rata ratusan tahun. Ada pohon rengas, pohon bacanti, pohon balan, pohon kandis, dan sebagainya.

Menurut Komandan Satgas Hutan Wisata Buluhcina, Muhammad Ralis, kalau dalam waktu-waktu tertentu, dirinya beserta sejumlah anggotanya memantau kondisi keamanan kelestarian hutan dan danau. Katanya, sejak dirinya menjadi Satgas, sejak itu pula ia beserta teman-teman seusianya dan masyarakat Buluhcina mencintai Hutan Buluhcina ini

Sejak dibentuknya hutan Buluhcina ini sebagai Hutan Wisata Alam pada 2006 silam oleh Pemerintah Provinsi Riau, ralis menjelaskan, pemuda dan masyarakat Desa Buluhcina mulai terbantu dari segi perekonomiannya. Sebab, dengan hadirnya wisata ala ini, sedikit banyaknya wisatawan yang datang, tetap memberdayakan pemuda dan masyarakat. Ada sebagai pemandu wisatawan, menghidangkan makanan wisatawan, dan bahkan, ada wisatawan yang memanfaatkan rumah warga sebagai tempat penginapan.

Muhammad Ralis juga mengatakan, kalau Hutan Wisata Alam Buluhcina ini, juga memiliki pantangan-pantangan yang wajib dipatuhi siapa saja yang memasuki hutan ini. Berpacaran tidak dibenarkan, meminum minuman beralkohol, bahkan, bagi pria juga dilarang mengenakan singlet di dalam kawasan itu. Mau tahu kenapa demikian, itulah adat yang ninik mamak mereka tetapkan.

Belajar dari cara melestarikan dan sikap kearifan lokal masyarakat Desa Buluhcina ini, tinggal lagi bagaimana kita mencintai alam ciptaan Tuhan dengan cara melindungi dan melestarikan nilai-nilai adat istiadat dan alam.



Hutan wisata alam ini masih alami. Dari kondisinya yang sangat masih membutuhkan sentuhan sarana dan prasarana penunjang serta sosialisasi yang baik, dia sangat menarik dikembangkan menjadi potensi pariwisata handalan Riau.

Anda ingin melihat lebih dekat Hutan Wisata Alam Buluhcina ini? Datang saja langsung. Sesaimpainya anda ke Desa Buluhcina, Anda akan dipandu dengan ramah dan sopan oleh warga setempat. Selamat menikmati hutan alam dan danau yang jarang anda temui.(Parlindungan)

1 komentar: